“Bagaimana kalau kelak aku jadi polisi?” tanya Budi kepada kakaknya, Wati. Ia sebenarnya hanya iseng bertanya sambil memegang sebuah kotak berisikan hadiah ulangtahun dari kakaknya.
Budi sebenarnya lebih gemar berdagang dibanding menjadi polisi. Wati sempat terdiam, lalu menjawab. “Bisa saja. Semua orang boleh punya cita-cita. Menjadi polisi takkan membuat kau kehilangan hobimu. Berdagang dan berbisnis,” katanya.
Budi terdiam. Ia hanya termangu karena kurang paham dengan maksud perkataan kakaknya, Wati. Bagaimana mungkin bisa menjadi polisi sambil berdagang? Tapi ia tak lagi bertanya. Ia akhirnya berhasil membuka kotak hadiahnya. Isinya pistol mainan. Hadiah ulangtahun dari kakak tercinta, Wati.
Ini Budi..Ini Ibu Budi…Ini Bapak Budi...Ini Wati Kakak Budi….Ini Iwan Adik Budi.....
Siapa tak ingat Budi? Tokoh ‘fenomenal’ yang ada di buku-buku pelajaran sekolah rentang 1980-2000an. Tak heran pula kalau banyak ibu-ibu pun lantas menyematkan nama Budi untuk anaknya. Sebut saja Budi Setia, Budiman, Budi Gunawan…
Siapa pula tak kenal Wati? Kakak Budi yang selalu ikut nebeng menjadi gambar sampul depan buku pelajaran sekolah. Terkadang mereka berpose sedang belajar bersama. Sedang bermain bersama. Kakak beradik yang kompak.
Budi juga selalu dicontohkan sebagai pribadi yang baiknya luar biasa. Tak pernah bolos sekolah, tak pernah mencuri mangga milik tetangga, tak pernah melawan orangtua dan ribuan puja puji tanpa cela.
Bertahun-tahun berlalu sejak percakapan ringan itu terjadi. Tak banyak yang tahu kisah Budi, Wati dan keluarganya saat ini. Apakah Budi sudah menjadi polisi? Apakah ia masih sebaik dulu?
Entahlah. Tapi kali ini aku bertemu Budi yang, jelas, berbeda. Namanya Budi Gunawan. Ia calon tunggal Kapolri. Dulunya, ia adalah ajudan Megawati sewaktu menjadi presiden. Yang jelas, Megawati lebih sering dipanggil Mega, bukan Wati. Jelas, ini Budi dan Wati yang berbeda dengan cerita tadi.
Dari bisik-bisik yang beredar, Megawati lah yang “menitipkan” nama Budi kepada Presiden Jokowi. Apa kata Budi?
Ia tertawa. “Hak setiap orang menilai,” katanya. Singkat. Sesingkat waktu berselang yang digunakan KPK untuk menetapkannya sebagai tersangka. Salahsatunya, dugaan soal rekening gendut yang dimilikinya.
Benar, hak setiap orang menilai. Berlaku sama untuk cerita tentang Budi. Tidak ada yang tahu seperti apa Budi kini. Benarkah ia masih melakoni hal-hal baik? Bukankah kehidupan berjalan. Bukan tak mungkin ia kini berlaku buruk. Apakah ia menuruti nasehat kakaknya, Wati, untuk menjadi polisi sambil berdagang dan berbisnis? Bisa jadi itu yang membuatnya kini tampak buruk.
Yang jelas, kehadiran Budi di jaman itu benar-benar adi kuasa. Ia dijadikan inspirasi semua murid sekolah. Budi adalah rujukan tunggal, satu-satunya standar bagi anak-anak dalam bersikap. Tak ada nama Joko, Prabowo, Susilo, Jusuf, Made, Jonan ataupun Akbar. Hanya ada Budi. Ia tunggal. Panutan seluruh pelajar seantero bumi pertiwi.
Yang lebih jelas lagi, kini, sudah cukup lama Budi hilang dari buku pelajaran. Ada nama yang beragam. Khayalan tentang sosok Budi yang ideal memang tak harus dilanjutkan. Masih ada nama lain. Sebab saat ini, ia hanyalah masa lalu. Mungkin cuma mitos.
Toh, kita tak pernah bertemu sosoknya waktu masih sekolah dulu. Mungkin ada yang namanya Budi. Tapi tak seperti yang digambarkan. Kini kita diberikan pilihan, tak lagi harus berkhayal.
Dan, ini yang paling jelas. Ada nama Budi di belakang namaku. Ada juga nama Wati di belakang nama ibuku. Tapi, ia tak pernah menyuruhku jadi polisi… ( @erisestrada )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H