Di suatu kabupaten di Riau, tampillah dengan gagah perkasa seorang bupati berpidato di depan rakyatnya. Dia nampak bersemangat, menggebu-gebu. Kadang diselingi canda. Apalagi, pidatonya lebih banyak menggunakan bahasa kampung.
Berikut salah satu cuplikan pidatonya.
"Kita akan segera bangun pabrik tektil di sini," tegas bupati lantang.
Seorang staf di sampingnya buru-buru mengingatkan sang bupati. "Pak kurang "s"-nya (harusnya tekstil, bukan tektil, red)," kata staf memberi tahu.
Sang bupati pun dengan enteng menimpali, "ya, nanti sekalian kita bangun pabrik es-nya," katanya seolah tanpa beban.
Begitulah. Konon pidatonya itu kemudian menjadi semacam lelucon di kalangan masyarakat setempat. Hehehe...
Tapi ada hal lain yang ingin saya sampaikan dari pidato sang bupati itu. Ada kesan, sejak era reformasi bergulir (pasca 1998), sepertinya begitu mudah bagi penguasa membentuk atau mendirikan sebuah institusi/lembaga.
Lihat saja, berbagai institusi/lembaga baik yang struktural maupun nonstuktural muncul bak jamur di musim hujan. Bahkan, banyak yang sebenarnya tak dibutuhkan. Itu terbukti setelah beberapa tahun didirikan, lalu dibubarkan.
Sering juga terjadi saling tumpang-tindih tugas pokok dan fungsi (tupoksi) antara satu institusi dengan institusi yang lain, karena terlalu banyak muncul institusi/lembaga yang baru.
Akibat banyaknya lahir institusi/lembaga baru sejak era reformasi, di era Presiden Jokowi misalnya, tidak kurang dari 20 institusi/lembaga non struktural telah dibubarkan. Tentu saja dengan alasan tidak lagi diperlukan.
Presiden Jokowi sengaja membubarkan institusi/lembaga tersebut karena hanya menambah panjangnya rantai birokrasi dan tentu saja membebani anggaran negara. (Lihat detik.com, edisi Rabu, 07 Juni 2017).
Jika kita bandingkan dengan era orde baru (orba), sepertinya tidak ada institusi/lembaga yang dibentuk atau didirikan tanpa kajian yang mendalam. Hampir tidak ada kita melihat suatu institusi/lembaga yang tiba-tiba berdiri, tapi tak lama berselang dibubarkan.
Harus kita akui bahwa banyak institusi/lembaga yang ada selama orba cenderung established (kuat dan kokoh). Masyarakatpun dengan mudah memahami plus mengenali institusi/lembaga yang ada.
***
Saat debat Cawapres malam tadi (Minggu malam, 17 Maret 2019), antara KH Ma'ruf Amin (01) dan Sandiaga Uno (02) yang disiarkan secara langsung oleh tivi swasta nasional, Cawapres 01 Ma'ruf Amin melontarkan gagasan akan membentuk Badan Riset Nasional.
Cawapres Ma'ruf menyampaikan gagasan itu menjawab komitmennya terkait masalah riset jika nanti terpilih sebagai Wapres.
Lalu mungkin banyak yang bertanya, bukankah sudah banyak institusi/lembaga yang concern dengan masalah riset ini? Bahkan ada salah satu kementerian yang menangani masalah riset, yakni Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Â
Di samping itu juga ada LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia) dan sejumlah perguruan tinggi ternama di Indonesia, yang selama ini berkutat dengan soal riset-meriset.
So, apakah kita masih butuh juga yang namanya Badan Riset Nasional? Ah, semoga saja apa yang disampaikan Cawapres Ma'ruf itu sudah melalui kajian yang mendalam. Wallahu'alam... Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H