Salah satu lembaga negara yang masih dipercaya masyarakat adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kinerja KPK yang cukup moncreng dalam hal menangkap para pelaku korupsi, bahkan dengan cara OTT (Operasi Tangkap Tangan) layak diapresiasi. Tapi kalau prilaku korupsi masih menjadi-jadi di negeri ini, lalu KPK hampir setiap hari melakukan OTT, apakah itu kabar baik bagi negeri ini?
Marilah kita lihat secara jernih, apa hati kita tidak miris melihat para pejabat, mulai dari kepala daerah hingga pejabat tinggi di jajaran Pemerintah Pusat seperti layaknya sedang "arisan" saja. Kalau hari ini belum kena OTT, mungkin karena belum dapat giliran saja. Seakan mereka tinggal menunggu waktu untuk digelandang ke Kantor KPK dengan asesoris seragam oranye-nya.
Tidak lagi berbilang puluh. Bahkan sudah ratusan anak-anak negeri ini harus mendekam di balik jeruji besi karena divonis kasus korupsi. Mulai dari yang bertampang preman sampai kyai hafal Al-Quran. Mulai dari kasus pembelian sapi sampai pembelian Al-Quran.
Senangkah kita sebagai anak bangsa melihat fenomena seperti ini? Saya yakin, dari hati yang paling dalam, sebenarnya kita sangat berduka. Malu. Diejek sebagai bangsa yang besar dan agamis, tapi doyan korupsi.
Belum lama ini, 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang ditangkap KPK. Kemarin, Bupati Kabupaten Bekasi bersama sejumlah stafnya juga di-OTT KPK. Meskipun Bupati Bekasi sudah bersumpah atas nama Tuhan tidak tahu-menahu, tapi the show must go on.
Pertanyaan besarnya adalah, apakah ratusan (atau mungkin sekarang sudah ribuan) orang yang telah ditangkap KPK dan terpaksa meringkuk di balik dinginnya dinding penjara, sejak awal memang sudah berniat dan siap menerima apapun resikonya, sehingga mereka berani melakukan tindak pidana korupsi? Saya sangat yakin, mayoritas akan menjawab: kami hanyalah orang-orang yang sedang apes saja! Ini artinya, ada sistem yang tidak beres.
Kembali ke soal KPK. Lembaga anti rasuah ini telah dibentuk sejak tahun 2002 di era Presiden Megawati Soekarnoputri. Tujuan utamanya tentu saja agar praktik korupsi di negeri tercinta ini segera diminimalisir, bahkan kalau bisa dihilangkan dari Bumi Pertiwi. Tapi apa yang terjadi?
Hingga belasan tahun lembaga ini berdiri, nampaknya praktik korupsi tidak menunjukkan trend yang secara signifikan berkurang. Portal berita www. detik.com edisi 22 Februari 2018 menyebutkan bahwa sesuai rilis dari Transparency International, ternyata indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2017 justru melorot ke peringkat 96.Â
Indeks persepsi korupsi Indonesia pada 2016 dan 2017 ternyata sama, yakni 37. Tapi peringkatnya malah turun. Pada 2016, Indonesia justru berada di peringkat ke-90. Artinya, penyakit kronis yang kita sebut korupsi itu malah bertambah parah.
Lalu, apa peran strategis KPK dalam upaya pemberantasan korupsi ini? Sepakatkah kita menyimpulkan bahwa keberadaan KPK yang cukup garang dan terpercaya itu telah mampu mengurangi secara signifikan praktik korupsi di Tanah Air? Maaf, sepertinya belum.
Dikutip dari portal www.kpk.go.id, ternyata tugas KPK lebih banyak soal pencegahan dibanding penindakan, seperti melakukan OTT itu. Lihat saja, tugas KPK, yakni: Pertama, koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.Â
Kedua, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Keempat, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan terakhir, melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Tapi kok selama ini, KPK terkesan lebih fokus melakukan tugas penindakan, antara lain dengan melakukan OTT dimana-mana. Apakah tindakan OTT setiap hari, sementara sistem yang ada masih memberikan peluang yang besar kepada praktik korupsi, dapat dianggap efektif bahkan dinilai sebagai suatu prestasi?
Seyogyanya, KPK berkenan dengan ungkapan, "mencegah lebih baik daripada mengobati." Karena kalau kita mau menjawab secara jujur, sistem pemilu yang ada saat ini misalnya, masih sangat sarat dengan cost (biaya) yang tinggi. Sehingga, setelah seseorang terpilih, ia pasti akan berfikir bagaimana mengembalikan cost yang telah digunakan. Ujung-ujungnya, ngakali uang negara. Ya, korupsi.
Contoh lain, sengkarut sistem keuangan partai politik (paprol) di tanah air. Selama ini, parpol lebih banyak mengandalkan kontribusi dana antara lain dari para kadernya. Sehingga, parpol-parpol berlomba-lomba menempatkan kadernya di berbagai jabatan strategis. Tujuannya, ya untuk menjadi mesin uang bagi parpolnya. Fenomena ini ternyata juga telah mendorong tumbuh-suburnya korupsi di tanah air.
 Barangkali masih banyak contoh lain, yang menjadi PR berat bagi KPK untuk membenahinya, sehingga tercipta sistem yang baik dan benar, dan pada akhirnya korupsi benar-benar dapat diberantas hingga ke akar-akarnya. Wallahu'alam...  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H