Hari-hari belakangan ini istilah "Islam Nusantara" semakin trend dan bahkan semakin menimbulkan kontroversi. Apalagi sejak pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar dengan tegas menentang istilah itu. MUI Sumbar tegas menyatakan bahwa Islam sudah sempurna, sehingga tidak perlu lagi ada penambahan embel-embel seperti "Nusantara".
Sikap MUI Sumbar ini ternyata langsung direspon oleh MUI Pusat, yang menyayangkan sikap tegas MUI Sumbar itu. MUI Pusat rupanya masih melihat persoalan Islam Nusantara ini sebagai bagian dari persoalan fur'iyyah atau masalah cabang-cabang agama/bukan persoalan mendasar yang mesti memerlukan sikap tegas atau fatwa dari MUI.
Sampai pada titik ini, umat Islam dan tentu saja umat di luar Islam melihat bahwa trend persatuan umat Islam di Indonesia sepertinya bukan menunjukkan ke arah yang semakin baik dan bersatu, tapi justru menuju ke arah perpecahan bahkan bisa saja semakin meruncing.
Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu dipahami dan disikapi dengan amat sangat bijaksana. Karena sekali lagi, jika masalah Islam Nusantara ini disikapi dengan sedikit saja keluar dari frame agama dan "disisipi" oleh sikap-sikap politik, maka persoalan tidak akan menemukan solusi, tapi justru semakin meruncing dan semakin memecah-belah umat.
Pertama, istilah Islam Nusantara pertama kali dipopulerkan oleh mantan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi (HM). Semasa hidupnya, HM pernah mendialogkan istilah ini dengan Imam Besar FPI Rizieq Shihab (RS) yang sebelumnya sangat menentang Islam Nusantara.
Namun dalam pertemuan itu, RS bisa menerima dengan baik Islam Nusantara setelah HM menegaskan bahwa yang dimaksud Islam Nusantara adalah "Islam Rahmatan Lil 'alamin yang menyatu berurat-berakar dengan kehidupan masyarakat nusantara" (http://www.datdut.com/islam-nusantara-versi-habib-rizieq/).
Sebelumnya, RS menentang karena Islam Nusantara oleh sebagian orang dimanfaatkan untuk menunjukkan sikap kebencian kepada Arab. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Arab atau budaya Arab sangat dibenci. Orang pakai sorban dihina. Pakai jenggot dianggap kolot dan lain sebagainya. Padahal sangat jelas, Islam lahir di Arab dan mencapai puncak kejayaannya di tanah Arab.
Ketika HM meninggal, RS dalam salah satu pernyataannya memuji HM. RS menyebut HM tidak sekadar seorang ulama, tapi juga sosok negarawan yang banyak memahami persoalan bangsa (portal-islam.id edisi Kamis, 16 Maret 2017).
Jika kita kembalikan apa yang dimaksud dengan Islam Nusantara sebagaimana disampaikan HM di atas, tentu saja sebenarnya tidak perlu menimbulkan persoalan, apalagi kontroversi.
Namun, kita juga tidak menutup mata bahwa Islam Nusantara akhir-akhir ini sudah masuk ke ranah politik. Ada terselip sikap dukung-mendukung presiden di sana.
Bahkan, ada juga sebagian penganut Islam Nusantara merasa sebagai orang Islam yang paling hebat tiada tanding. Kelompok lain salah semua. Sikap-sikap seperti ini kemudian menyulut api kebencian dan tentu saja perpecahan.
Kedua, jika yang dimaksud dengan Islam Nusantara sebagaimana dikemukakan HM di atas, maka sejatinya embel-embel "Nusantara" tidaklah menjadi sesuatu yang perlu diperdebatkan sampai keluar urat leher.
Toh kalau boleh membandingkan, demokrasi yang saat ini berlaku di Indonesia, yakni "Demokrasi Pancasila" juga disertai embel-embel "Pancasila". Bukankah sebenarnya demokrasi itu sendiri sudah sempurna menurut para pendukungnya?
Tapi faktanya, kita masyarakat Indonesia bisa menerima dengan baik istilah Demokrasi Pancasila. Tentu saja, karena maksud dan tujuannya selaras dengan cita-cita perjuangan bangsa kita.
Terakhir, tidak ada sikap yang lebih baik selain sikap saling bersatu dan saling harga-menghargai antar sesama umat Islam. Bersikap tegas kepada orang kafir dan berlemah- lembut kepada sesama muslim adalah nyata ajaran Al-Quran. Nabi Muhammad dalam shirah kenabian juga selalu mengedepankan persatuan dan kasih-sayang ketika menghadapi adanya perbedaan pendapat di antara para sahabat.
Jangan sampai umat Islam di Indonesia mengalami nasib ibarat pepatah, "menang jadi abu, kalah jadi arang". Wallahu'alam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H