Seorang sahabat mengeluh. Akibat suatu kecelakaan, dirinya terpaksa dilarikan ke rumah sakit terdekat. Sang dokter yang menangani langsung mengeluarkan perintah agar salah satu ginjalnya dioperasi. Keluar dari rumah sakit tersebut, sang sahabat mengunjungi dokter spesialis yang selama ini menjadi langganannya. Sang dokter spesialis itu pun menyesalkan diagnosa dokter sebelumnya. Sembari menyatakan bahwa tidak semestinya sampai pada tindakan operasi ginjal.
Di kesempatan yang lain. Seorang keluarga merasa ada yang kurang pas dengan lidahnya. Ia pun buru-buru datang ke sebuah rumah sakit ternama untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis. Namun keluar dari rumah sakit ia malah merasa jengkel. Sebabnya, sang dokter memvonis ia mengalami gejala stroke. "Masak saya dibilang mau stroke," sesalnya. Beberapa hari setelah itu, lidahnya secara alami kembali normal dan sampai sekarang tidak pernah stroke.
Kasus-kasus seperti ini barangkali sering kita dengar dan mungkin juga kita alami. Namun tentu tidak sedikit juga dokter yang pintar mendiagnosa suatu penyakit. Dokter-dokter seperti ini biasanya punya banyak pelanggan pasien. Bahkan kita kadang rela antri berjam-jam demi berobat ke dokter tersebut.
Kerja dokter dan kerja seorang pemimpin (mulai dari Presiden sampai Ketua RT/RW) sepertinya ada kemiripan. Seorang dokter yang hebat, tentu harus pintar mendiagnosa penyakit pasien agar segera sembuh. Jika salah mendiagnosa, tidak saja biaya (anggaran) yang percuma habis, tapi nyawa dan keselamatan pasien juga jadi taruhan.
Begitupun seorang pemimpin. Jika ia tidak cerdas dalam mendiagnosa kondisi yang sesungguhnya dari masyarakat yang ia pimpin, maka ia akan mengeluarkan kebijakan (resep) yang aneh-aneh, yang pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan persoalan yang ada di tengah masyarakat. Anggaran habis. Hutang bertambah. Namun tujuan untuk memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat masih jauh panggang dari api.
Sebagai contoh, kebijakan Pemerintah Zaman Now yang memotong subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Akibatnya, harga-harga bahan pokok melambung tinggi. Tarif Dasar Listrik (TDL) naik. Gas naik. Apa-apa naik. Masyarakat, khususnya menengah ke bawah yang menjadi mayoritas di negeri ini, banyak yang menjerit. Kehidupan terasa semakin sulit.
Sementara janji pemerintah yang katanya mengalihkan anggaran subsidi BBM untuk pembangunan infrastruktur dan menumbuhkan ekonomi kerakyatan serta pembukaan lapangan kerja baru belum dapat dirasakan efekdominonya oleh masyarakat secara maksimal. Sementara perut terlanjur lapar. Maka kita tidak heran, jika hari ini di banyak tempat terjadi gerakan "#2019 Ganti Presiden".
Andai pemerintah berhasil memenuhi ekspektasi masyarakat sesuai dengan janji-janji kampanye dulu, tentu gerakan-gerakan seperti itu tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat. Tidak akan laku. Karena masyarakat sudah merasa hidupnya terayomi oleh kekuasaan yang melayani dan menyayangi.
Contoh lain. Di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS) misalnya. Saat ini, jika seorang PNS mendapat tugas melakukan perjalanan dinas, biayanya menggunakan sistem at cost dengan harapan akan terjadi penghematan. Berbeda dengan dulu, menggunakan sistem gelondongan. Tapi, apakah benar telah terjadi penghematan dengan sistem at cost itu? Tentu ini juga sangat debatable.
Dengan sistem gelondongan, seorang PNS mendapatkan biaya perjalanan dinas sesuai dengan jabatan dan pangkat/golongannya. Sang PNS dapat menggunakan biaya tersebut sesuai dengan pilihannya. Mulai dari memilih moda transportasi (pesawat/bus/kereta api/dll) sampai memilih tempat penginapan (hotel). Jika PNS tersebut bisa berhemat dengan memilih moda transportasi dan hotel yang harganya lebih murah/rendah, maka ia bisa menyisakan biaya perjalanannya itu. Sisanya itu bisa menjadi tambahan penghasilan bagi dirinya. Lumayan untuk sekedar membeli oleh-oleh untuk keluarga yang ditinggal.
Bagaimana dengan sistem at cost? Karena PNS sudah mengetahui bahwa sisa dari anggaran perjalanan dinas itu tidak lagi dapat ia kantongi, maka ia pun memaksimalkan pemakaian anggarannya. Misalnya, ia akan memilih moda transportasi yang harganya sesuai dengan anggaran biaya perjalanannya. Jika selama ini biasa menggunakan maskapai penerbangan Lion, yang relatif lebih murah, maka dengan sistem at cost, biasanya pindah ke maskapai yang lebih berkelas seperti Garuda.
Hal yang sama juga terjadi untuk penginapan. Biasanya rela menginap di hotel melati, dengan sistem at cost, orang pun berpindah ke hotel-hotel berbintang. Apakah terjadi penghematan? Sepertinya hanya aliran uangnya saja yang berubah. Sistem at cost hanya dapat mengurangi tambahan penghasilan PNS. Bukan menghemat uang negara.
Memilih pemimpin, sama seperti memilih dokter yang cerdas dalam mendiagnosa. Masyarakat jangan mudah terjebak dan tertipu oleh program-program yang hanya seolah-olah memihak rakyat (penuh pencitraan). Padahal sesungguhnya demi untuk memuluskan kepentingan "pihak lain" yang ingin menyetir negeri ini. Mari kita pilih pemimpin yang sayang kepada rakyat dan juga sayang kepada Ibu Pertiwi. Wallahu'alam... Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H