Hari-hari ini, masyarakat Indonesia khususnya di 171 daerah sedang "menikmati" tahapan-tahapan dari sebuah pesta demokrasi yang kita sebut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara Langsung.
Masing-masing partai politik (parpol) sudah mendeklarasikan pasangan calon (paslon) yang diusung. Sejak tanggal 8 s/d 10 Januari kemarin, masing-masing paslon juga telah mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat.
Berbagai berita mulai mencuat bahkan viral di masyarakat. Misalnya, ada bakal calon (bacalon) yang sudah mendapat Surat Keputusan (SK) dari suatu parpol tiba-tiba dianulir (direvisi) karena sang ketua umum parpol terpaksa diganti setelah menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ada juga parpol yang siap memberikan SK kepada bacalon tapi dengan syarat harus menyetor dulu atau (istilah krennya) memberi uang mahar yang konon bisa mencapai Rp170 miliar...mak...mak...mak...banyaknye...!
Yang tak kalah viral, ada bacalon yang sudah dielus-elus oleh suatu parpol, bahkan digadang-gadang menjadi calon terkuat, tapi terpaksa diganti karena tiba-tiba muncul ke publik foto mesra (aduhai) yang bersangkutan dengan perempuan yang bukan muhrimnya. Kabarnya, setelah dielus parpol, dia malah mengelus paha perempuan lain...hahaha... Â
Ada juga di suatu daerah, bacalon yang dengan pede-nya mendaftar ke KPUD setempat, tapi terpaksa ditolak karena bacalon tersebut ternyata tidak dapat menunjukkan SK dari parpol pendukung. Konon pun kalau ada SK, kabarnya SK itu palsu alias bodong. Alamakkk...yang bodong pun ternyata laku dijual...hahaha...
Tentunya, masih banyak cerita lain yang penuh drama dan sandiwara mengiringi perjalanan suatu peristiwa yang kita sebut Pilkada Langsung ini. Andai bangsa kita tidak pernah mengalami gelombang reformasi di tahun 1998 itu, barangkali sampai hari ini kita belum mengenal sistem Pilkada Langsung.
Karena toh sejatinya, para founding fathers (pendiri bangsa) kita tidak pernah mengajarkan sistem yang seperti itu. Para founding fathers lebih memilih cara "musyawarah mufakat" dalam memutuskan banyak hal. Bahkan, musyawarah mufakat terkadang tidak mesti melibatkan seluruh masyarakat, tapi cukup melalui lembaga perwakilan (Dewan atau Wakil Rakyat) saja. Pesan itu cukup jelas sebagaimana sila keempat Pancasila: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan."
Tapi nyatanya kita tidak mungkin mundur ke belakang. Tuntutan reformasi yang menggelora di tahun 1998 adalah juga kehendak mayoritas anak bangsa. Termasuk sistem Pilkada Langsung yang kita lakoni hari ini adalah juga buah dari keinginan mayoritas kita. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus sama-sama melaksanakan dan mematuhi seluruh aturan mainnya.
Yang pasti, dalam beberapa hari atau beberapa bulan ke depan, pertarungan akan semakin sengit. Intrik-intrik sangat mungkin terjadi bahkan sudah terjadi. Masing-masing paslon dengan tim suksesnya pasti bekerja lebih keras. Ada yang jual program, tapi pasti ada juga yang cuma jual "kecap manis," hehehe...
Sebagai masyarakat biasa, harapannya tentu tidak lain kecuali berharap kiranya terpilih paslon yang terbaik bagi masyarakat. Jangan sampai masyarakat berkecai-kecai hanya karena pilkada. Bukankah pilkada hanyalah instrumen untuk memilih pemimpin yang terbaik.
Jika kita sepakat dengan itu, maka mari sama-sama kita nikmati setiap tahapan Pilkada Langsung ini dengan penuh cinta dan gelak tawa. Hati boleh panas mendengar celotehan tim sukses lawan, tapi kepala harus tetap dingin untuk memikirkan strategi terbaik bagi paslon yang kita usung. Selamat ber-Pilkada Langsung. Semoga Allah SWT melindungi kita semua. Amien... Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H