[caption caption="Bagaimana banner ini menurut Anda?"][/caption]Apakah anda suka pornografi? Secara jujur mungkin banyak yang menjawab: iya. Hehehe...Wajar sajalah. Mungkin itu pertanda bahwa kita manusia normal. Baik sebagai laki-laki maupun perempuan. Wajar saja misalnya, seorang laki-laki sejati tertarik melihat “aurat” seorang perempuan cantik. Begitu juga sebaliknya.
Tapi, apa boleh ketertarikan atau kesukaan kita kepada pornografi itu diumbar begitu saja sebebas-bebasnya? Sebagai manusia yang berakal sehat (tidak sedang mabuk), pasti akan menjawab: tidak boleh!
Tapi, bagaimana kalau pornografi itu sudah “merasuki” hampir semua sendi kehidupan kita? Inilah yang membuat kepala saya pusing! Pusing niye...hehehe.
Maksud saya “merasuki” hampir semua sendi kehidupan itu, misalnya jalan-jalan ke Mall, banyak yang terlihat, yang menurut saya masuk dalam kategori pornografi. Nonton TV, begitu juga. Apalagi kalau sudah nonton acara goyang-goyang itu. Kadang-kadang kalau pas lagi ada mertua ikut nonton, jadinya nggak enak bodi, hehehe...
Di jalan-jalan, juga banyak ketemu hal-hal yang berbau pornografi. Misalnya tadi, saya lewat di salah satu kawasan perumahan ternama, saya melihat begitu banyak banner terpasang di pinggir jalan dengan gambar yang menurut hemat saya agak seronok dan barangkali masuk kategori pornografi.
Banner itu memberitahukan kepada masyarakat bahwa akan ada pertunjukan gratis yang acaranya akan disiarkan oleh salah satu TV swasta nasional. Foto perempuan-perempuan yang ada di banner itu banyak yang memperlihatkan (maaf) belahan dadanya. Bahkan perutnya. Apalagi perempuan yang paling depan. Gayanya sungguh menantang!
Memang, di banner itu tertulis 18+ yang berarti hanya untuk orang dewasa. Tapi yang menjadi pertanyaan saya, kenapa banner itu dipasang di tempat yang semua orang bisa melihat? Kalau memang hanya untuk kalangan dewasa atau 18 tahun ke atas, seharusnya banner itu ada di ruang-ruang yang hanya diakses orang-orang 18+ itu. Bukan di tempat umum yang anak TK pun bisa melihatnya.
Pertanyaan selanjutnya, pertunjukan itu katanya akan digelar di lapangan terbuka secara gratis. Apa bisa membatasi anak-anak yang di bawah 18 tahun ikut menonton? Saya yakin, pasti tidak bisa. Jadi, tanda 18+ itu mungkin hanya untuk formalitas saja. Hanya untuk “mengakali” undang-undang. Karena mungkin kalau acara itu sampai ditegur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pihak penyelenggara dengan entang mengatakan, “kan sudah kita kasih tanda 18+, kok masih nonton”. Lepaslah dari jeratan hukum. Betapa gampangnya ya kita mengakali aturan di negeri ini.
Dan, sebenarnya hal-hal yang begini seperti sudah lumrah di negeri kita. Mungkin saya aja yang kampungan. Bahkan di beberapa tempat, hanya pesta kawinan di kampung-kampung, banyak yang berani menampilkan penyanyi-penyanyi dengan dandanan menor bergaya seronok. Yang nonton bahkan anak-anak TK atau SD.
Jadi, kalau BKKBN pernah melakukan survey pada 2008 lalu yang menyimpulkan bahwa 63 persen anak usia SMP dan SMA sudah tidak perawan lagi, ya wajar saja, karena lingkungan yang sangat mendukung. Begitu juga survey sebuah LSM di salah satu kota besar di Indonesia yang menyebutkan 97,05 persen mahasiswi yang kuliah di kota itu ternyata sudah tidak perawan lagi, sekali lagi sangat masuk akal, karena memang lingkungan sangat kondusif untuk itu.
Siapa yang salah atas kondisi ini, para ulama, pemerintah atau kita semua? Entahlah, jawab aja sendiri. Yang pasti, Indonesia yang sangat kita cintai ini memang bukan negera Islam, tapi mayoritas penduduknya beragama Islam. Dan, soal pornografi sangat permisif di negeri ini, bahkan mungkin melebihi negeri-negeri yang tegas-tegas menyatakan sebagai negeri sekuler!
Kalau begini adanya, tak terbayang bagaimana nasib generasi Indonesia ke depan. Sangat mungkin, akan banyak yang atheis sembari mengagung-agungkan kebebasan individu sebebas-bebasnya. Kalaupun masih beragama, mungkin hanya di KTP saja.
Saya lalu teringat dengan gerakan Revolusi Mental gagasan Presiden Jokowi. Alangkah berat merealisasikan gagasan itu di tengah masyarakat yang sedang “sakit” seperti ini. Wallahu’alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H