RUPANYA Ramadhan tidak hanya menimbulkan perbedaan pendapat tentang awal puasa (1 Ramadhan) dan hari lebaran (1 Syawal) termasuk jumlah raka’at shalat tarawih (ada yang 11 raka’at, 23 raka’at dan bahkan ada yang 39 raka’at).
Penentuan awal Ramadhan dan hari lebaran yang sering berbeda di Indonesia terjadi karena memang metode yang digunakan juga tidak sama. Ada yang hanya menggunakan metode hisab saja (biasanya kalangan Muhammadiyah) dan ada juga yang menggunakan metode hisab dan sekaligus ru’yah (biasanya di kalangan NU dan sejumlah ormas Islam lainnya termasuk Pemerintah). Masing-masing punya alasan dan paradigma yang kuat. Hal serupa juga terjadi dalam penentuan bilangan raka’at shalat tarawih (shalat di malam bulan Ramadhan). Semua punya landasan dan dasar yang kuat. Tinggal kita memilih, mana menurut kita yang paling kita yakini mendekati kepada kebenaran dan kebaikan/kemaslahatan. Karena kebenaran yang hakiki tentu bukan berasal dari manusia, tapi dari dan menjadi milik Allah SWT.
Perbedaan-perbedaan seperti itu biasa dalam Islam. Karena ajaran Islam sangat luas. Perbedaan itu biasanya juga hanya terkait masalah-masalah fur’iyyah (bukan masalah pokok/utama). Perbedaan itu biasanya diistilahkan sebagai masalah khilafiah (perbedaan pendapat di kalangan para ulama Islam).
***
Beberapa hari ini saya sering ketawa sendiri, tapi tentu dalam hati. Kalau benar-benar, nanti malah dianggap sudah gila alias senewen. Setelah baca koran dan nonton tivi, saya membaca dan mendengar para petinggi berbeda pendapat soal boleh atau tidak Aparat Sipil Negara (ASN) (dulu disebut PNS) membawa atau menggunakan mobil dinas saat mudik lebaran nanti.
Kementerian PAN dan RB Yuddy Chrisnandi sudah membuat keputusan dengan mengizinkan PNS golongan tiga ke bawah untuk menggunakan mobil dinas saat mudik lebaran nanti. Walau bertentangan dengan Permen PAN dan RB tahun 2005 yang melarang PNS menggunakan mobil dinas di luar urusan dinas, namun menurut Menteri Yuddy kali ini anggap saja diskresi (pengecualian). Habis, kata Menteri Yuddy, PNS sudah tidak mendapat THR, ekonomi juga lagi sulit. Apalagi yang diizinkan itu juga PNS rendahan, golongan tiga ke bawah. Bukan para pejabat yang memang sudah mampu beli mobil sendiri.
Berbeda dengan Menteri Yuddy, para pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) langsung bersuara lantang menolak keputusan Menteri Yuddy tersebut. “Ini bertentangan dengan hati nurani saya. Mobil dinas tidak boleh dipakai untuk urusan selain dinas,” tegas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki.
Di daerah, sikap soal boleh atau tidak memakai mobil dinas saat mudik lebaran juga disikapi secara berbeda. Ada pimpinan yang mengizinkan, ada pula yang tidak dan ada pula yang mengambil sikap abu-abu. Rupanya benar-benar telah terjadi khilafiah (perbedaan pendapat di antara para pemimpin bangsa) terkait soal pemakaian mobil dinas ini.
***
Puasa mengajarkan kita untuk bisa menahan diri. Tentu termasuk menahan diri untuk tidak mengecilkan pendapat dan kebijakan para pemimpin kita (harus kita hargai dan kita patuhi). Jadi, kalau nanti ada PNS yang memakai mobil dinas saat mudik lebaran, berarti pimpinannya mengizinkan yang bersangkutan. Tidak perlu berburuk sangka.
Inginnya kita, harusnya hanya ada satu keputusan, satu komando: boleh atau tidak. Tapi kita terlanjur hidup di era demokrasi (yang hampir kebablasan) dimana banyak orang yang merasa berkuasa dan bisa membuat sebuah keputusan walau rakyat akhirnya banyak yang KEBINGUNGAN..! Wallahu’alam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H