Filsuf Karl Marx pernah menyatakan bahwa agama itu candu. Pun begitu halnya dengan kekuasaan, banyak yang menyebut juga sebagai candu. Dan, candu itu mungkin telah merasuk dan mendarah daging di Partai Golkar, karena sejarah kekuasaan di negeri ini pasti tidak akan pernah lepas dari sejarah partai berlambang pohon beringin itu.
Golkar didirikan oleh penguasa di eranya hingga Golkar berhasil menguasai pemerintahan dalam hitungan puluhan tahun. Oleh karena itu, tidaklah sulit untuk menyimpulkan bahwa mayoritas kader Golkar pastilah orang-orang yang berkuasa (penguasa) atau paling tidak dekat dengan kekuasaan.
Di sinilah barangkali salah satu titik blunder yang dilakukan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie ketika dirinya dulu dengan gagah berani memproklamirkan Golkar sebagai partai oposisi dan bergabung dengan Koalisi Merah Putih (KMP). Pria yang biasa disapa Ical itu mungkin lupa (atau mungkin tidak ingat...eh sama aja ya...hehehe) bahwa Golkar sangat tidak terbiasa dengan oposisi.
Karena itu pula, keputusan menjadi oposisi itu ditentang habis-habisan, misalnya oleh pendiri SOKSI sekaligus pendiri Partai Golkar Suhardiman. Politisi senior yang sudah malang-melintang itu berkali-kali menyatakan bahwa Golkar tidak bisa menjadi oposisi, karena sejak awal Golkar adalah partai pemerintah. Ia bahkan menyebut, sikap oposisi sebagai gagasan yang naif dan ngawur...!
Suhardiman pasti sangat menyadari bahwa Golkar berbeda dengan PDIP. Partai pimpinan Megawati itu memang berhasil menjadi oposisi selama pemerintahan SBY. Karena secara historis, partai wong cilik itu memang sudah terbiasa dengan sikap oposisi.
Di sisi lain, salah seorang kader terbaik Golkar, HM Jusuf Kalla (JK) adalah orang nomor dua di negeri ini. Keberhasilan atau kegagalan JK di pemerintahan secara tidak langsung juga akan berpengaruh kepada citra atau nama baik Golkar. Sebagai mantan Ketua Umum Golkar, JK pasti juga punya banyak loyalis. Apakah para loyalis JK tega beroposisi dengan mentornya sendiri? Pasti jawabannya, tidak...! Harusnya dulu, hal ini menjadi pertimbangan Ical sebelum ia memutuskan membawa gerbong Golkar ke KMP.
***
Tadi pagi saya masih sempat menyaksikan, salah satu tivi swasta nasional yang notabene milik Ical menyorot keabsahan atau legalitas Munas Golkar di Ancol yang memilih Agung Laksono jadi ketua umum. Melalui berita running text, tivi itu juga menyebut banyaknya anggota fraksi Golkar di DPR RI yang menolak pengurus fraksi Golkar yang baru bentukan Agung Laksono.
Tapi tivi swasta nasional yang lain, malah sebaliknya, terus-menerus memberitakan tentang keputusan Menkum HAM yang sudah mengesahkan kepengurusan Partai Golkar di bawah pimpinan Agung Laksono. Bahkan, semakin banyak kader Golkar yang menyeberang dan merapat ke Agung.
Dalam dunia politik, antara sah dan tidak, antara legal dan tidak, bedanya sangatlah tipis. Apalagi di negara yang demokrasinya masih “setengah jadi”. Yang terpenting adalah dukungan dari penguasa, termasuk bagaimana mengolah dan mengemas isu agar masyarakat bisa yakin dan percaya.
Hari-hari belakangan ini Pak Ical mungkin mulai merasa kesepian, karena satu per satu loyalisnya menyeberang ke kubu lawan. Sebagai anak bangsa, saya turut berdo’a, mudah-mudahan prahara ini segera menemukan solusi terbaiknya, karena bagaimanapun, Partai Golkar adalah aset kita, bangsa Indonesia. Wallahu’alam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H