Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi salah satu masalah yang belum terselesaikan hingga sekarang. Setelah rezim otoriter orde baru tumbanag, tampak jelas bahwa praktir KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang keberadaannya meluas. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) akhir-akhir ini dianggap sebagai wujud paling buruk dan paling ganas dari gejala kemerosotan moral dari kehidupan masyarakat dan bernegara di negeri kita. KKN adalah produk dari relasi sosial-politik dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi. Relasi yang dikembangkan adalah relasi yang diskriminatif, alienatif, tidak terbuka, dan melecehkan kemanusiaan.
Pada era pemerintahan transisi di bawah Presiden BJ Habibie, istilah KKN diresmikan menjadi istilah hukum dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tanggal 19 Mei 1999 tentang "Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme". Â Pengertian dari masing-masing istilah dimaksud dapat diketahui berikut ini:
- Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
- Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
- Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Di era Joko Widodo tiga istilah tersebut sangat sering dibacarakan. Karena banyak konspirasi-konspirasi yang menyangkut tiga istilah itu dan Bapak Joko Widodo. Yang pertama korupsi, dari tahun ke tahun yang semakin menambah bukan malah berkurang. Peran pemerintah yang kurang tegas kepada para pelaku karena disuap pun bisa. Lantas yang dibenahi sebenarnya siapa?
Korupsi
Pada tahun 2019 pemerintah merevisi UU KPK hingga keringanan hukuman dan putusan lepas menghiasi pemberitaan media dalam perkara yang ditangani KPK. Indonesia Corruption Watch (ICW), salah satu lembaga swadaya yang berfokus pada sikap antikorupsi, menyebut Presiden Jokowi tidak berkomitmen terhadap semangat pemberantasan korupsi.
"Setelah lembaga KPK dilemahkan melalui revisi UU KPK, saat ini Presiden malah memberikan pengurangan hukuman bagi narapidana kasus korupsi. Ini semakin menunjukkan bahwa rezim Joko Widodo memang tidak pernah menganggap pemberantasan korupsi sebagai sebuah entitas penting," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada reporter Tirto, Kamis (5/12/2019).
Pernyataan tersebut dibuktikan dengan skor indeks persepsi korupsi di era pemerintahan Jokowi yang relatif lebih tinggi dibanding era-era presiden sebelumnya. Skor tertinggi diperoleh pada indeks persepsi korupsi tahun 2019, yakni 40. Namun, di periode kedua kepresidenan Jokowi, skornya menurun menjadi 37 pada 2020, setahun setelah revisi UU KPK resmi berlaku. Meski sempat naik menjadi 38 pada 2021, namun skornya terjun empat poin menjadi 34 pada 2022. Indonesia terakhir kali memperoleh skor 34 pada tahun 2014.
Kemudian pada hasil Survei Perilaku Anti-Korupsi (SPAK) 2023 yang diadakan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa indeks perilaku anti korupsi (IPAK) tahun ini adalah 3,92, menurun 0,01 poin dibanding tahun sebelumnya. Alhasil, skor IPAK masih belum mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. BPS juga menemukan bahwa gap antara dimensi persepsi dengan dimensi pengalaman masih lebar. Hal ini menandakan bahwa meski kesadaran masyarakat untuk tidak mewajarkan perilaku korupsi semakin bertambah, tetapi kenyataannya mereka masih harus terlibat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) ketika mengakses layanan publik, salah satunya dengan membayar lebih atau memberi suap kepada petugas pelayanan.
Kolusi
Sejarawan Taufik Abdullah dalam artikel KKN: Sebuah Pendekatan Kultural (Hamid dan Sayuti, 1999) menuturkan, KKN adalah konsep baru dalam konteks negara modern. Khusus kolusi, ia menyebut hal itu sebagai bentuk kerja sama untuk mendapatkan keuntungan yang tak sah dari milik publik atau negara. Paul A. Samuelson (1999) mendefinisikan kolusi sebagai perjanjian di antara beberapa perusahaan untuk bekerja sama dalam menaikkan harga dan membagi pasar yang berakibat pada pembatasan persaingan bebas.
Satu contoh praktik, misalnya, kartel tujuh maskapai penerbangan yang diputuskan bersalah oleh KPPU pada 2020 silam. Untuk menghindari kolusi, setiap pelaku bisnis sepatutnya mengimplementasikan program bisnis berintegritas:
- Komitmen untuk tidak memberikan uang pelicin, suap-menyuap.
- Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas perusahaan.
- Melaporkan indikasi tindak pidana korupsi; pemerasan, bentuk pungli lainnya yang dilakukan oknum regulator dan penegak hukum.
Nepotisme
Dalam pemerintahan Jokowi, indikasi adanya nepotisme sangat terlihat dalam berbagai manuver politik yang menempatkan anggota keluarganya pada posisi kekuasaan yang strategis. Fenomena yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan, di mana keluarga Jokowi dianggap memanfaatkan posisi politiknya untuk memperkuat dinasti politik mereka. Nepotisme dalam hal ini melibatkan pemberian kekuasaan atau jabatan kepada kerabat dekat, bukan berdasarkan kompetensi, melainkan hubungan kekeluargaan. Populisme yang digaungkan oleh Jokowi tampaknya menjadi instrumen untuk menutupi atau melindungi nepotisme tersebut. Dengan membangun citra diri sebagai "pemimpin rakyat kecil", Jokowi berhasil merangkul simpati publik dan mengalihkan perhatian dari tindakan nepotisme yang dilakukan keluarganya. Citra populis yang Jokowi ciptakan melalui retorika "dekat dengan rakyat" berfungsi sebagai kamuflase untuk membentuk citra positif, meskipun realitanya berbeda terhadap kehidupan pribadi dengan narasi populisnya.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Perekat Nusantara, Petrus Selestinus, menyebut aksi Presiden Joko Widodo yang melanggengkan dinasti politik dan nepotisme dalam Pemilu 2024 bertentangan dengan kedauluatan rakyat. Ia melihat dinasti politik dan nepotisme Jokowi secara nyata telah terbukti melalui Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023. Itu pada akhirnya merusak asas-asas Pemilu yang Luber dan Jurdil.
Pertama, Jokowi dinilai sering berbohong kepada Rakyat tentang netralitas dirinya dan aparaturnya, termasuk perilakunya tidak melibatkan diri dalam persoalan pilihan politik anak-anaknya Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
Kedua, Jokowi menyatakan presiden boleh ikut berkampanye dan memihak pasangan calon tertentu. Padahal, ketentuan UU Pemilu melarang presiden memihak pasangan calon peserta pemilu.
Ketiga, Jokowi menggunakan iparnya Anwar Usman ketika menjabat sebagai Ketua MK membukakan jalan bagi Gibran menjadi cawapres. Di sini, terjadi pelanggaran terhadap pasal 24 UUD 1944 karena membuat MK kehilangan kemerdekaan dan kemandirian.
Keempat, Petrus mengemukakan Jokowi yang menempatkan anaknya menjadi wali kota Surakarta dan menantunya, Boby Afif Nasution, menjadi Walikota Medan, adalah bagian dari membangun dinasti politik dan nepotisme.
Kelima, Petrus menilai Jokowi sudah tidak punya urat malu karena meskipun telah berkali-kali dikritisi oleh banyak pihak dengan pernyataan yang menistakan, akan tetapi Jokowi tidak pernah merasa dinistakan sedikitpun bahkan menganggap sebagai soal kecil.
Oleh karena itu, untuk Presiden terpilih dan Wakil Presiden terpilih mari selesaikan permasalahan yang sangat disepelekan oleh para pejabat pejabat negara, kami masyarakat sudah percaya penuh maka dari itu tolong jaga kepercayaan kami, mari sama sama berjuang untuk Indonesia Emas 2025.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H