Terlebih untuk Indonesia, salah satu tantangan terbesar perwujudan ketahanan pangan memang berasal dari faktor ekonomi, mulai dari yang berskala kecil seperti keterbatasan ekonomi untuk pengadaan pangan, hingga yang berskala besar seperti halnya alih fungsi lahan untuk proyek-proyek tidak relevan seperti perumahan, pertambangan, atau lahan industri lain yang dapat mengurangi area produksi pangan.
Sebab pula, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya hayati pangan haruslah berbasis masyarakat. Peran seluruh masyarakat terutama anak muda dalam mengolah potensi pangan lokal sangat diperlukan. Seperti pada program Mitra KEHATI di Yogyakarta lewat Gerakan Umbi-umbian, Program Pelestarian Sumber Pangan Lokal di Kabupaten Kepulauan Sangihe Tahun 2016-2021, Program Pelestarian dan Pemanfataan Sumber Pangan Lokal Sagu di Samate, Raja Ampat, Papua Tahun 2019 -2021, serta Program Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Pangan Lokal Berbasis Masyarakat di Flores, Manggarai Raya, NTT, yang masih berjalan hingga saat ini.
Seluruh program di atas melibatkan langsung peran serta generasi muda yang berkerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan pemerintah daerah. Akan sangat disayangkan bila potensi besar ini diabaikan begitu saja.Â
Pada media Kompas, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Eni Harmayani menuturkan, para generasi muda mempunyai peran besar untuk mendukung transformasi sistem pangan di Indonesia. Mereka mampu untuk menciptakan berbagai inovasi teknologi pertanian dari hulu hingga hilir, serta membuat inisiasi berbagai gerakan masyarakat untuk menangani isu-isu global. Namun, sejauh ini pemerintah dinilai belum optimal dalam mendukung inovasi-inovasi generasi muda di berbagai sektor, termasuk pertanian dan ketahanan pangan.
Profesor Eni juga menyampaikan, gebrakan dari para pemuda haruslah didukung mulai dari penyuluhan, pendampingan, dan pengawalan dengan regulasi dan kebijakan dalam mengadopsi teknologi yang mereka ciptakan. "Beri kesempatan dan libatkan generasi muda untuk berkiprah dalam menganani isu-isu FEW (food, energy, and water atau makanan, energi, dan air)." ucap Profesor Eni.
Lantas, benarkah pengaturan pola makan lewat diet sungguh berdampak pada upaya ketahanan pangan? Saya kira benar demikian. Meski efeknya tidak akan secara langsung dirasakan, namun kebiasaan makan dengan menu beragam serta pola yang dibatasi, cukuplah untuk menekan angka konsumsi pangan tertentu. Esensi dari ketahanan pangan berasal pada kebiasaan makan yang baik, dan kebiasaan makan yang baik dapat membantu menunjang program pemerintah dalam diversifikasi pangan. Sebabnya, kebiasaan makan masyarakat akan berdampak pada status gizi masyarakat.Â
Jika program pengaturan pola makan lewat diet yang pada pelaksanaannya memerlukan sumber karbohidrat lain selain beras (misalnya, kentang dan umbi-umbian), kemudian pemilihan pangan yang bergizi, serta pengaturan jumlah atau porsi untuk mencapai diet yang sehat dan seimbang, saya meyakini ketahanan pangan dengan cara pemberdayaan diversifikasi pangan lewat diet akan tercapai dengan sendirinya.
Rethel bahkan mengungkapkan bahwa, kebiasaan makan sehari-hari sebenarnya terhubung dengan sistem ekonomi dan politik yang lebih besar. Jika kita terapkan cara pandang Rethel, kita bisa melihat bahwa pilihan makanan kita sehari-hari sebenarnya punya dampak besar. Contohnya, ketika kita memilih membeli sayur organik dari petani lokal, kita tidak hanya membuat pilihan makanan yang sehat. Namun juga turut mendukung petani kecil dan membantu ekonomi lokal. Praktik ini sejalan dengan konsep "kedaulatan pangan" yang semakin mendapat perhatian dalam diskusi ketahanan pangan global.
Meski ide ini dirasa cukup bagus, kenyataannya memang tidak mudah diterapkan begitu saja. Salah satu masalah besarnya adalah pengaruh perusahaan makanan besar yang gencar mengiklankan makanan olahan cepat saji mereka. Masalah lain yang turut muncul yaitu harga, untuk mendapatkan makanan alami (real food) kita diharuskan mengeluarkan dana yang lebih besar. Hal ini menjadi problem bagi banyak keluarga Indonesia yang masih memiliki ekonomi terbatas. Ujung-ujungnya, mereka akan kembali pada pola makan tidak sehat namun terjangkau harganya, seperti mie instan atau makanan cepat saji lainnya.
Di sinilah peran pemerintah sangat diperlukan. Salah satu program pemerintah yang bisa membantu dan sudah berjalan hingga saat ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini menyalurkan bantuan pangan ke keluarga kurang mampu berupa sembako dan komoditi pangan lokal yang beragam, mulai dari beras, sayur-mayur, hingga protein hewani.