Contoh lain yaitu ketogenik atau diet keto, merupakan istilah untuk diet rendah karbohidrat (tidak lebih dari 50gram sehari) dengan tujuan agar pelaku diet lebih banyak menyerap kalori dari protein dan lemak serta lebih sedikit dari karbohidrat.
Pantangan saat melakukan diet keto adalah mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah banyak pada menu harian, mulai dari sarapan, makan siang, camilan sore hingga makan malam. Di mana, lagi-lagi, kebiasaan makan ini dirasa mampu menekan konsumsi nasi dan meningkatkan penyerapan pangan lokal, sekaligus menurunkan biaya impor beras.
Selain berdampak pada konsumsi beras, pengaturan pola makan dengan diet juga digadang-gadang mampu menekan konsumsi terigu yang ternyata ikut meningkat sebanyak 25,4% di tahun 2017. Sebab anjuran diet apapun akan mengatur bahkan cenderung melarang pelakunya untuk mengonsumsi makanan tinggi glikemik seperti makanan olahan, tepung-tepungan, dan fast food.
Hal ini seiras dengan apa yang dikemukakan Sjamsul Hadi pada Forum Bumi edisi kedua, bahwasanya Indonesia (seharusnya) bisa kenyang tidak hanya dengan beras dan terigu. Sjamsul juga menegaskan bahwa Indonesia sangatlah kaya, kita memiliki 72 varietas sumber karbohidrat, 100 varietas kacang-kacangan, dan juga 450 varietas buah-buahan.Â
Untuk itu Sistem Pangan Nasional haruslah berbasis pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal. Pemenuhan pangan tidak bisa disandarkan hanya pada satu atau dua jenis sumber pangan sebab komoditas pangan Indonesia sangatlah beragam.
"Kita kelimpahan, tetapi juga ternyata kita sangat miskin."
Kalimat ironis dari Puji Samedi itu seiras dengan kondisi keragaman pangan negara kita. Indonesia seharusnya menjadi negara yang paling bersyukur karena keanekaragaman hayatinya. Namun sayangnya, konsumsi berbagai pangan lokal justru menurun dan konsumsi gandum yang diimpor dari luar negeri malah meningkat.
Bersama itu, saya juga menyadari jika kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply. Hampir setengah penduduk kita belum sehat. Bahkan 68 kabupaten/kota di Indonesia masih masuk dalam rentan rawan pangan sebab rendahnya ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan sumber pangan. Sebagian besar terjadi di bagian Timur Indonesia, daerah pedalaman, serta lokasi dengan konfigurasi kepulauan.
Berdasarkan data dari Buletin APBN Vol. VIII edisi 17 tahun 2023, bencana kelaparan akibat kekurangan makanan hingga menyebabkan kematian masih terulang kembali di Indonesia. Setidaknya warga terdampak berkisar sepuluh ribu warga hingga akhir Juli 2023. Kemarau kering yang terjadi bersamaan dengan El Nino di beberapa wilayah di Papua mengakibatkan tanaman pangan milik warga gagal panen yang menyebabkan masyarakat setempat sulit memperoleh bahan makanan. Bahkan, enam warga dilaporkan meninggal dunia akibat kekurangan makanan yang dipicu cuaca ekstrem sejak Mei lalu.
Memang untuk mencapai sebuah Ketahanan Pangan Nasional tidaklah mudah, beragam problem yang hingga kini masih menjangkit negara kita menjadi tantangan tersendiri. Dari mulai ancaman kelaparan dan kekurangan gizi, hingga potensi krisis pangan akibat perubahan iklim, pandemi, bahkan konflik global.
Meskipun berbicara tentang masa depan ketahanan pangan negara, pada akhirnya semua solusi bermuara pada pembenahan aktivitas dan kesadaran manusia. Setuju atau tidak, manusia sejatinya memang berada persis di pusat hampir semua persoalan sosial yang kita alami saat ini.