Mohon tunggu...
erindanurmj
erindanurmj Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S 1 Universitas Mulawarman

INFP yang sedang berjuang untuk lulus kuliah dengan lancar. Penyuka petang, rinai hujan, dan kelembutan kasur. Penikmat kopi, coklat, dan berbagai sastra.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru, Pilar Bangsa yang Kian Tersisihkan

12 Desember 2024   04:06 Diperbarui: 12 Desember 2024   04:06 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri yang memuja pendidikan sebagai tonggak pembangunan bangsa, ironi terbesar justru menyelimuti para pejuang di garis depan: guru. Mereka yang disebut "pahlawan tanpa tanda jasa" kini terpaksa bergelut dengan realitas yang meminggirkan posisi mereka. Indonesia, sebuah negara dengan ambisi besar menjadi kekuatan ekonomi global, seolah melupakan pondasi utamanya: pendidikan dan pengajarnya.

Realita Suram di Lapangan

Laporan demi laporan mengungkapkan betapa banyak guru, terutama honorer, hidup dalam kondisi yang jauh dari layak. Dengan gaji yang seringkali di bawah standar upah minimum regional (UMR), mereka harus merangkap pekerjaan lain demi menyambung hidup. Sementara itu, guru-guru di pelosok negeri menghadapi tantangan yang lebih kompleks: fasilitas minim, akses terbatas, hingga tuntutan administratif yang sering kali membebani lebih dari tugas utama mereka sebagai pendidik.

Fenomena ini bukan hanya menyoal kesejahteraan, tetapi juga menyentuh aspek penghargaan dan pengakuan terhadap profesi guru. Bagaimana mungkin kita berharap lahirnya generasi unggul jika guru, sang pencetak masa depan, dibiarkan terpuruk?

Beban Administrasi, Beban Tanpa Makna?

Salah satu keluhan utama para guru adalah tuntutan administrasi yang tak kunjung habis. Bukannya memusatkan perhatian pada proses pembelajaran, mereka sering kali disibukkan dengan laporan-laporan yang tidak langsung berdampak pada kualitas pendidikan. Hal ini tidak hanya menyita waktu, tetapi juga energi yang seharusnya dialokasikan untuk mendidik siswa.

Regulasi yang tumpang tindih dan kebijakan yang sering berubah-ubah turut menambah beban psikologis para guru. Alih-alih merasa didukung, mereka justru merasa terjebak dalam sistem yang tidak memihak.

Mengapa Guru Tidak Menjadi Prioritas?

Pemerintah sering kali berargumen bahwa pendidikan adalah prioritas utama. Namun, alokasi anggaran dan kebijakan yang ada justru tidak mencerminkan hal tersebut. Program-program besar seperti digitalisasi pendidikan atau pembangunan infrastruktur sekolah kerap kali mengabaikan kesejahteraan guru sebagai elemen inti.

Tidak hanya itu, citra guru di mata masyarakat juga perlahan terkikis. Kasus-kasus hukum yang melibatkan guru karena mendisiplinkan siswa menjadi contoh nyata bagaimana profesi ini kehilangan otoritasnya. Guru tidak lagi dipandang sebagai figur otoritas yang patut dihormati, melainkan sekadar "pekerja" biasa yang mudah dipermasalahkan.

Harapan di Tengah Ketidakpastian

Meski demikian, harapan tidak sepenuhnya sirna. Di berbagai daerah, muncul inisiatif-inisiatif lokal yang berupaya meningkatkan kesejahteraan dan kapasitas guru. Komunitas-komunitas pendidikan mulai bermunculan, menawarkan pelatihan dan dukungan moral bagi para guru.

Namun, ini tidak cukup. Pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk merevitalisasi profesi guru. Mulai dari revisi sistem penggajian, pengurangan beban administrasi, hingga pemberian pelatihan yang relevan dan berkelanjutan. Selain itu, masyarakat juga harus kembali menempatkan guru pada posisi yang semestinya: sebagai pilar bangsa yang layak dihormati.

Guru bukan sekadar profesi; mereka adalah penentu masa depan. Jika Indonesia benar-benar ingin menjadi negara maju, maka penghargaan terhadap guru tidak bisa lagi hanya menjadi sekadar jargon. Saatnya menata ulang narasi, memberikan penghormatan yang layak, dan memastikan guru tidak lagi tersisihkan di negeri mereka sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun