Siswa yang terlahir sebagai generasi Alpha tumbuh dalam era di mana teknologi digital dan internet sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Mereka sangat terbiasa dengan perangkat canggih seperti smartphone, tablet, dan komputer sejak usia dini, sehingga kemampuan mereka untuk mengakses informasi dan berinteraksi secara online jauh lebih maju dibandingkan generasi sebelumnya. Internet tidak hanya menjadi sumber belajar, tetapi juga sarana utama untuk bersosialisasi, bermain, dan mengembangkan keterampilan digital yang kompleks.
Namun dengan beragam kemudahan yang ada bukan berarti hidup tanpa ujian. Kemunculan kecemasan pada siswa sering kali ada sebagai reaksi terhadap berbagai tekanan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu penyebab utamanya adalah tuntutan akademik yang berat. Siswa sering merasa tertekan oleh beban tugas yang banyak, ujian yang sulit, serta ekspektasi tinggi dari guru dan orang tua. Belum lagi dibandingkan dengan anak-anak tetangga yang lebih sukses ataupun berhasil menyelesaikan sesuatu lebih cepat. Ketakutan akan kegagalan atau tidak memenuhi standard yang diharapkan dapat menimbulkan perasaan cemas yang berkelanjutan.
Selain itu, pengalaman negatif di lingkungan sosial, seperti perundungan atau ejekan dari teman sebaya, juga menjadi faktor signifikan. Siswa yang mengalami perundungan biasanya merasa tidak aman dan terisolasi, yang memperparah kecemasan mereka. Dalam beberapa kasus, ketidakmampuan siswa untuk bersosialisasi dengan baik, seperti berbicara di depan umum atau bergaul dengan teman baru, juga dapat menyebabkan kecemasan sosial yang menyulitkan mereka dalam berinteraksi di lingkungan sekolah. Siswa yang terlalu banyak mengakses internet terlalu biasa dengan keadaan internet, padahal di dunia hidup itu haruslah bersosial.
Tekanan dari orang tua yang menginginkan kesuksesan anaknya dalam bidang akademik maupun non-akademik juga berkontribusi terhadap kecemasan. Harapan memang tidak selalu berjalan dengan realita di kehidupan nyata. Biasanya harapan orang tua yang terlalu tinggi atau kritik yang berlebihan membuat siswa merasa takut mengecewakan, sehingga muncul rasa cemas yang terus meningkat. Padahal siswa itu sudah berusaha tidak memikirkannya, tapi ternyata masih kepikiran dengan hal-hal yang terkait dengan orang tua sebagai wujud balas jasa yang tak dapat tergantikan.
Selain itu, perubahan fisik dan emosional, terutama pada usia remaja, memainkan peran penting. Siswa yang sedang mengalami masa pubertas sering kali menghadapi kebingungan terkait identitas diri dan perubahan tubuh, yang menambah tekanan psikologis dan kecemasan. Faktor lingkungan sekolah yang kurang mendukung, seperti atmosfer yang kompetitif atau kurangnya perhatian emosional dari guru, juga memperburuk keadaan.
Pengaruh media sosial di era digital juga tidak bisa diabaikan. Banyak siswa yang merasa terbebani oleh standar kecantikan, gaya hidup, atau prestasi yang mereka lihat di media sosial, sehingga mereka cenderung membandingkan diri mereka dengan orang lain. Perbandingan ini sering kali menimbulkan rasa kurang percaya diri dan kecemasan, terutama jika mereka merasa tidak mampu memenuhi standar tersebut.
Pada akhirnya, kurangnya keterampilan dalam mengelola stres juga menjadi penyebab kecemasan. Siswa yang belum memiliki kemampuan untuk mengatasi tekanan dengan baik akan lebih mudah merasa cemas, karena mereka tidak tahu bagaimana cara merespon situasi yang menekan secara sehat dan produktif. Kombinasi dari berbagai faktor ini membentuk gambaran kompleks mengenai penyebab kecemasan pada siswa, yang jika tidak ditangani dengan baik, dapat berdampak negatif pada perkembangan akademik dan emosional mereka.
Menghadapi kecemasan siswa merupakan tantangan yang semakin penting dalam lingkungan pendidikan saat ini. Banyak siswa mengalami kecemasan akibat berbagai faktor, seperti tekanan akademik, masalah hubungan sosial, atau lingkungan sekolah yang kurang mendukung. Jika tidak diobati, gangguan kecemasan dapat membuat siswa kesulitan mengerjakan tugas sekolah atau belajar . Hal ini juga dapat memengaruhi hubungan mereka dengan teman sebaya dan guru. Dalam beberapa kasus, siswa dengan gangguan kecemasan sering tidak masuk sekolah. Atau mereka mungkin tidak masuk sekolah sama sekali.
Kondisi ini dapat mengganggu konsentrasi, motivasi, bahkan kesejahteraan mental siswa. Oleh karena itu, peran guru dan sekolah sangat penting dalam menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi siswa untuk belajar dan berkembang.
Langkah pertama yang dapat diambil adalah menciptakan suasana belajar yang nyaman dan mendukung. Guru bisa menggunakan pendekatan yang interaktif dan bervariasi, sehingga siswa merasa lebih santai dan terlibat dalam proses pembelajaran. Selain itu, penting untuk mengajarkan keterampilan manajemen emosi, seperti teknik relaksasi atau mindfulness, yang dapat membantu siswa mengelola kecemasan mereka. Dengan begitu, siswa akan lebih mampu mengatasi tekanan yang mereka hadapi, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
Selain aspek akademik, hubungan sosial yang sehat juga harus diperhatikan. Masalah perundungan atau tekanan dari teman sebaya sering menjadi pemicu kecemasan yang signifikan. Sekolah harus aktif dalam membangun budaya yang mendukung kerjasama, toleransi, dan empati antar siswa. Ini bisa dilakukan melalui program-program sosial yang mendorong interaksi positif dan menyelesaikan konflik dengan cara yang baik.