Ketaatan pada ajaran agama sangat penting dalam kepemimpinan di masa klasik, Carita Parahyangan  misalnya, menggambarkan Maharaja Niskala Wastu Kencana sebagai seorang yang taat beragama, Prasasti  Petak yang bertarikh 1486 M menggambarkan  Raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang menggulingkan kekuasaan Majapahit sebagai seorang yang taat dalam menjalani Agama Budha.
Naskah kuno dan prasasti yang memberitakan tentang taat beragamanya seorang raja, menjadi salah satu kriteria yang penting untuk seorang pemimpin. Ini tidak hanya terjadi dimasa Hindu Budha, melainkan berlanjut pula sampai masa Kerajaan Islam. Suma Oriental  yang ditulis seoran pengelana Portugis bernama Tome Pires mencatat, bahwa Cirebon pada abad ke-16 M, dipimpin seorang lebe yang bernama Lebe Uca, yang merupakan bawahan Pate Rodin, entah siapa tokoh ini masih diperdebatkan, meski menurut Sejarawan Ary Whisnu, besar kemungkinan bahwa yang dimaksud adalah Syaikh Musanuddin yang berdakwah di Cirebon, Arkeolog Suwedi Montana menafsirkan, bahwa lebe disini kemungkinan adalah gelar bagi seorang pemimpin agama dalam Bahasa Jawa dan Melayu, sehingga pasti orang ini merupakan pemimpin agama di Cirebon.  Dalam Bahasa Jawa, Lebe berarti pemimpin yang mengatur urusan agama masyarakat, sehingga,  dengan demikian, bisa dipastikan ketaatan beragama sangat penting di masa itu.
Keempat, adil dalam penegakan hukum.
Catatan Tiongkok masa Dinasti Tang mencatat adanya sebuah kerajaan di Jawa antara abad ke-7-8 M, yaitu Kerajaan Holing yang dipimpin oleh Ratu Sima. Catatan Tiongkok mencatat bahwa Raja Dazi mengirim sebuah tas berisi emas dan meletakkanya di jalanan Kerajaan Holing. Lama sekali tas tersebut tidak tersentuh, Raja Dazi rupanya hendak menguji kejujuran penduduk kala itu, dan tak lama kemudian, tas itu tersentuh oleh kaki putra Ratu Sima. Ratu Sima langsung memerintahkan penjatuhan hukuman mati bagi sang putra, yang oleh para menteri lalu dibujuk agar diringankan menjadi potong kaki. Melihat sikap tegas sang ratu, Raja Dazi pun tidak berani menyerang Jawa. Sejarawan WP.Groeneveldt menafsirkan bahwa Dazi kemungkinan adalah salah seorang pemimpin Pemukiman Arab di Pantai Barat Sumatra.
Nah, itu dia  beberapa kriteria Pemimpin Nusantara di era klasik, yang mampu membuat bangsa kita menjadi bangsa yang besar di masa lalu, maka, pilihlah pemimpin berdasarkan kompetensinya, bukan karena bagi-bagi duit dan lain sebagainya.Pilih mereka yang mau mengabdikan dirinya untuk agama, nusa dan bangsa. Karena memilih pemimpin, berarti menentukan masa depan bangsa ini. Sejarah bangsa ini adalah sejarah yang penuh kegemilangan, maka alangkah baiknya, apabila kita mampu melanjutkan sejarah tersebut di masa milenial ini, teruslah belajar sejarah agar tidak lupa jati diri.
Refrensi:
Putra, Arian Mardiansyah dan Nasution: Dinasti Girindrawardhana Dyah Ranawijaya Dalam Kajian Prasasti Petak Tahun 1486 M, Avatara, E-Journal Pendidikan Sejarah, Vol.11, No.1.Tahun 2021.
Anonim: Pararaton, AAK Culture.
Lubis, Nina Herlina, Muhsin, Mumuh, Â Sofianto, Kunto , Mahzuni, Dade, Widyonugrahanto, Mulyadi, RM., dan Darsa, Undang Ahmad: Rekonstruksi Kerajaan Galuh Abad VIII-XV, Paramita Vol.26 No.1 Tahun 2016, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran.
Darsa, Undang Ahmad,Sumarlina, Elis Suryani Nani,dan Permana, Rangga Saptya Mohammad: Raja-Raja Sunda Periode Kerajaan Pajajaran Berdasarkan Tradisi Tulis Sunda Kuno,Jurnal Kajian Budaya Dan Humaniora, Vol.5, No.3, Oktober , 2023 M.
Djafar, Hasan: Prasasti Batutulis Bogor, Amerta Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Amerta, Vol 29.No.1 Juni 2011.