Minimnya sumber sejarah yang primer tentang Banyumas, membuat sejarah daerah ini belum  bisa digali lebih dalam. Sumber sejarah berupa babad yang ditulis jauh setelah masa kejadian, tidak bisa menjadi rujukan utama dalam penyelidikan sejarah.
Namun, Banyumas masih memiliki peninggalan arkeologis yang tidak kalah dahsyatnya dengan cerita Babad Pasir itu sendiri, apakah peninggalan arkeologis tersebut.
Di Banyumas, terdapat beberapa situs berupa gua yang dinamakan Gua Jepang, Â menurut Arkeolog Muhammad Chawari, gua-gua ini adalah bunker pertahanan Jepang sewaktu mereka menjajah Indonesia. Ada dua Gua Jepang disini yaitu di Kecamatan Kabalo dan Kecamatan Kebasen. Â Arkeolog Muhammad Chawari berpendapat, gua-gua ini dibangun Jepang sebagai bunker pertahanan antara 1942-1945 M. Gua-gua itu dibuat dengan melubangi dinding bukit secara horisontal.
Bunker-bunker Jepang pada masa itu dihubungkan dengan jalan tembus, contohnya yang ada di Pulau Nusakambangan, Cilacap. Â Gua-gua itu berbentuk huruf i dan u. Dalam Babad Pasir, Nusakambangan pun juga merupakan tempat yang penting, dikisahkan bahwa Kamandaka harus mengalahkan Raja Pulebahas, Penguasa Nusakambangan yang juga ingin memperistri putri Adipati Pasirluhur yang bernama Ciptarasa. Dengan tipudaya, Kamandaka berhasil mengalahkan Penguasa Nusakambangan tersebut.
Masih menurut Arkeolog Muhammad Chawari, tujuan Pasukan Jepang membangun gua-gua buatan di Banyumas adalah untuk menguasai pesisir dan pantai,pada 15 Agustus, 1945 M, revolusi akhirnya pecah di Cirebon yang tidak jauh dari Daerah Banyumas, meski Jepang berhasil memadamkan revolusi tersebut, namun, pada 17 Agustus 1945 M, proklamasi  Negara Kesatuan Republik Indonesia akhirnya berlangsung, dan Jepang harus angkat kaki dari negeri ini.
Bagi saya, Banyumas bukan saja wilayah  kecil yang indah, tapi tempat yang menyimpan sejuta kenangan, tentang petualangan, perjuangan, dan cinta yang mewarnai sebuah perbatasan antara dua suku yang hidup bertetangga di Tanah Jawa ini. Banyumas menjadi rantai penghubung antara Jawa dan Sunda di masa lalu, dengan berganti-gantinya kekuasaan di tangan Penguasa Sunda dan Jawa kala itu. Banyumas juga menjadi tempat lahirnya sebuah kisah yang memberi kita pelajaran akan pentingnya menghindari keburukan, semoga warna-warni Banyumas ini tetap hidup hingga kapanpun.
Refrensi:
Wulandari, Linda Sari: Toponimi Cilacap Berdasarkan Lingusitik Dan Sejarah, jurnal tanpa tahun dan lembaga.
Permana, Rangga Saptya Mohammad: Makna Tri Tang Tu Di Buana Yang Mengandung Aspek Komunikasi Politik Dalam Fragmen Carita Parahyangan, Jurnal Kajian Komunikasi Volume 3.No.2, Desember 2015 M.
Priyadi, Sugeng: Babad Pasir: Banyumas Dan Sunda,Humaniora Volume XIV, No.2/2022 M.
Ayatrohaedi &Atja: Pustaka Rajya Rajya I Bhumi Nusantara Parwa 2 Sargah 4, Sebuah Naskah Sastra Sejarah Karya Kelompok Kerja Dibawah Tanggung Jawab Pangeran Wangsakerta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 1991 M.
Lubis, DR.Nina Herlina: Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta, Humaniora Volume XIV, No.1, 2002.