Akhir-akhir ini, negeri kita seringkali dilanda isu politik dinasti dan korupsi. Hal ini tentu akan mengancam kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memecah belah persatuan. Saya mengajak anda semua menengok ke belakang, melihat bagaimana strategi Pendiri Kraton Yogyakarta mengambil langkah yang kokoh dibawah gempuran Imperialisme VOC Belanda. Saya berharap, siapapun yang nantinya memimpin negeri ini bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Karena sejarah bukan hanya hikayat untuk dihapalkan, tapi pelajaran untuk masa depan.
Pada 1726 M, Kesultanan Mataram  yang berpusat di Surakarta setelah runtuhnya Kraton Kartasura sudah dalam kondisi yang rapuh dan pemberontakan berkecamuk di pedalaman. Jabatan sultan kala itu dipegang Susuhunan Pakubuwana II yang memerintah antara 1726-1749 M. Tapi disaat yang sama, VOC Belanda juga semakin melemah dan berada dalam kesulitan keuangan.
Susuhunan Pakubuwana II adalah seorang pemimpin yang berkepribadian lemah dan plin plan. Belum lagi kebijakan Pakubuwana II yang menyewakan pesisir untuk Penjajah Belanda. Saat itulah muncul seorang pahlawan yang akan menyelamatkan Tanah Jawa dari kehancuran. Yah, dialah adik sang sultan sendiri yang masyhur dengan nama Pangeran Mangkubumi.
Kekecewaan Pangeran Mangkubumi membuatnya berazzam untuk keluar dari kraton yang semakin rapuh. Mangkubumi kemudian bergabung dengan seorang pemberontak bernama Raden Mas Said dan menikahkan putrinya yang bernama Ratu Bendara dengan Raden Mas Said. Pada 1747 M, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said melancarkan perlawanan sengit terhadap VOC Belanda dan membantai sebagian besar musuh dalam pertempuran di Grobogan.
Pasukan Mataram bergerak untuk menyerang para pemberontak, namun dengan cerdiknya Mangkubumi dan Mas Said berbelok ke Surakarta dan membakar beberapa rumah, serta mengancam kraton. Mangkubumi kini beriniasiatif untuk mendirikan sebuah pusat kekuasaan baru di sebelah barat daya Surakarta, tepatnya di Yogya. Dekat dengan kraton lama di Kotagede dan Plered.
Darisini, kita bisa membaca strateginya yang cerdik. Mangkubumi tidak hanya melakukan pemberontakan melawan sebuah kekuasaan yang kacau dan zalim, melainkan juga menyiapkan pusat kekuasaan baru yang nantinya akan membangkitkan kembali kejayaan Mataram, meskipun dengan nama yang berbeda.
Perwakilan Belanda yaitu Nicholas Hartingh meninggalkan Semarang pada 29 Januari 1755 M. Pada 21 Februari, Hartingh telah memasuki Wilayah Kesultanan Mataram yang telah terbagi dua. Hartingh kemudian melakukan pembagian kerajaan, dan perjanjian itu dikenal sebagai Perjanjian Giyanti dimana Mangkubumi dinobatkan sebagai sultan di istana barunya, Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sedangkan Surakarta dipimpin oleh Pakubuwana III.
Baiklah, kita akan berupaya membahas dan menganalisis bagaimana Sultan Hamengkubuwana I mendirikan negara yang kuat di Jawa. Bagaiman jenius politik yang satu ini mendirikan sebuah kerajaan yang  kuat yang bertahan hingga saat ini.
1.Menggunakan kekuatan sastra untuk melawan kekuatan senjata.
Nah, ini dia salah satu strategi Sultan Hamengkubuwana I yang membangkitkan semangat rakyatnya untuk tetap merdeka dari Imperialisme Belanda. Di masanyalah ditulis sebuah novel fiksi yang menggambarkan tentang bagaimana keunggulan Jawa yang seharusnya mampu mengalahkan Belanda. Yah, tidak lain dan tidak bukan berjudul Serat Surya Raja. Novel ini adalah rencana masa depan Kraton Yogyakarta untuk menghadapi Belanda. Yogyakarta disimbolkan dengan Kraton Jawa dan Belanda disimbolkan dengan Tanah Sabrang. Dimana Kraton Jawa yang dipimpin Pangeran Pujaksuma berhasil mengalahkan Tanah Sabrang dan Penguasa Tanah Sabrang masuk Islam.