Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

ketika Mencontek Jadi Tradisi

1 Februari 2011   05:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:00 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="554" caption="Plagiarisme (sumber: http://www2.le.ac.uk)"][/caption] Dalam beberapa pertemuan para pengajar ESL (English as a Second Language) di kampus (Universitas Iowa), topik yang senantiasa mendapat sorotan adalan plagiarisme (aktivitas mencontek). Menurut penuturan sejumlah pengajar, plagiarisme ini bagi sebagian orang sudah jadi bagian budaya. Saya bisa langsung menangkap maksud rujukan sebagian orang di sini karena hampir dalam semua kasus, pelaku plagiarisme adalah orang China. Ini diperkuat dengan kebijakan ekonomi China yang boleh menjiplak barang mana pun dan milik siapa pun. Sayangnya, ada pengajar ESL juga yang berpendapat bahwa hal ini sudah mengakar kuat dalam budaya Asia secara keseluruhan. Terus terang, sedih hati ini mendengar semua pendapat di atas. Apalagi pendapat terakhir yang mengeneralisasi budaya Asia. Saya hanya bisa terbisu karena bisa jadi pendapat itu ada benarnya. Contoh terdekat, negara kita. Plagiarisme ini sudah menjadi rahasia umum di dunia pendidikan kita. Untuk mengejar target, anak didik (dan pendidik) menghalalkan pelbagai cara, termasuk mencontek. Contoh yang masih hangat dalam ingatan kita adalah kasus plagiarisme dalam pelaksanaan ujian nasional (UAN). Yang lebih menyedihkan kasus yang sempat menjadi diangkat media adalah kasus pencontekan di kampung halaman saya, Garut. Konon, katanya, para kepala sekolah diancam akan dimutasi apabila tingkat kelulusan siswanya rendah. Alhasil, "tim sukses" di tiap sekolah pun dibentuk yang tugasnya cuma satu merumuskan berbagai strategi untuk membantu siswa lulus UAN. Celakanya, penanganan kasus-kasus plagiarisme (terutama UAN) biasanya berujung buntu (baca: dipetieskan). Mungkin karena terlalu banyak orang yang harus disidangkan. [caption id="" align="alignright" width="358" caption="Kasus pelanggaran UAN (sumber: http://deni3wardana.files.wordpress.com)"]

Kasus pelanggaran UAN (sumber: http://deni3wardana.files.wordpress.com)
Kasus pelanggaran UAN (sumber: http://deni3wardana.files.wordpress.com)
[/caption] Adik dan teman-teman saya pernah menjadi saksi (sekaligus pelaku karena mereka juga terlibat) bagaimana upaya pencontekkan masal yang sistematis ini dilakukan. Adik saya, misalnya, ketika ditanya bagaimana jalannya UAN, dengan polosbta dia menjawab, "Gampang A, ada guru yang bantuin." Sebenarnya bukan sesuatu yang mengejutkan karena fenomena tim sukses ini sudah menasional, hanya saja ketika terjadi pada adik sendiri, rasanya tidak rela. Tapi mungkin apa daya ketika plagiarisme ini sudah sistemik sifatnya. Teman-teman saya pun ketika ditanya hal serupa, jawabannya tidak jauh beda dengan adik saya. Dengan bangganya, mereka bilang bahwa nilai-nilai mereka bagus tanpa harus belajar, karena ada tim sukses yang menyebarkan kunci jawaban. Saya yakin ketika Anda bertanya ke adik, kerabat atau anak tetangga, akan dijumpai hal senada. Fenomena 'yang penting lulus' ini menjadi begitu menggurita sehingga sudah bisa dianggap sebagai hal biasa. Tak ada yang merasa tabu ketika dengan entengnya orang mengaku bahwa ujiannya dibantu gurunya. Guru/dosen pun yang seyogyanya menjadi panutan kadang melakukan hal yang sama, mencontek atau menjiplak karya orang. Contoh yang relatif terkini adalah kasus plagiarisme seorang guru besar di salah satu kampus ternama di Bandung yang kedapatan menjipkan dari sana sini untuk sejumlah tulisannya. Bisa dibayangkan, kalau gurunya saja seperti ini, bagaimana muridnya. Kan seperti pepatah, "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari." Dalam konteks lain, plagiarisme ini banyak didapati dalam penulisan karya ilmiah. Ada anggapan yang diamini banyak orang bahwa ketika menulis kerangka teoretis untuk sebuah esei atau makalah, mengambil kalimat orang (yang kadang tanpa mencantumkan penulis) itu dibolehkan. Tidak jarang ketika saya mencari referensi tulisan mengenai kebahasaan, ada beberapa makalah yang memasukkan kutipan orang tanpa sumber. Dengan teknologi google search, pengecekkan hal itu sangat dimudahkan. Ketika membimbing skripsi pun, tidak sedikit mahasiswa yang menyalin banyak sumber dari buku atau internet yang kerap tanpa memberikan penghargaan kepada penulisnya. Sekalipun dicantumkan penulisnya, sebenarnya tetap bermasalah, karena tulisan mereka terlihat seperti clipping, berupa kumpulan kalimat orang yang mereka ramu jadi satu bagian. Hal seperti ini tidak bisa diterima di budaya akademis Amerika. Jangankan mengutip tanpa mencantumkan penulis, kutipan (tidak langsung) yang tanpa disertai pengubahan struktur kalimat (paraphrase) yang benar-benar beda dengan sumber asli masih dianggap plagiarisme. Begitu ketat memang aturan penulisan di sini karena karya orang itu benar-benar diapresiasi. Tidak bisa dengan seenaknya dicutat tanpa mengubah gaya kalimat dan mencantumkan penulis. Yang lebih miris lagi ketika anak didik saya terbukti membuka jasa pembuatan karya ilmiah (skripsi). Dengan membayar uang jasa sekian juta, skripsi pun dijamin beres. Mulai dari pengajuan judul sampai persiapan sidang. Kolega saya pun pernah mengaku sempat melakukan hal yang sama ketika mahasiswa. Katanya, bisnisnya memang begitu menggiurkan karena tidak sedikit orang yang mencari jalan pintas. Tapi, cara bisnisnya itu yang mengerikan. Uniknya, di sini pun, saya pernah mempunyai pengalaman langsung berurusan dengan mahasiswa (kebetulan dari China) yang ketahuan menjiplak karya orang. Dalam tugas akhir, saya menyuruh mahasiswa saya untuk menulis esei opini yang harus dikumpulkan secara online ke website kelas yang disediakan pihak universitas. Kerennya website kampus ini 'dipersenjatai' dengan detektor plagiarisme yang terintegrasi dengan situs turnitin.com, sebuah situs yang menyediakan jasa pengecekan apakah sebuah tulisan mengandung jiplakan karya orang atau tidak. Kabarnya, situs ini mempunyai basis data yang luar biasa besarnya. Ratusan juta makalah, puluhan ribu jurnal dan buku menjadi sumber referensi data mereka. Saya mengetahui bahwa salah satu mahasiswa saya menjiplak berdasarkan detektor ini yang menyodorkan persentase kemungkinan penjiplakan beserta kata dan kalimat yang dijiplak yang disandingkan dengan sumber aslinya. Saya cetak semua bukti beserta esei yang mahasiswa tulis dan kemudian mengadakan pertemuan langsung dengan si pelaku dengan menghadirkan staf ESL untuk berperan sebagai saksi atau penengah. Setelah saya jelaskan jenis pelanggaran yang si pelaku lakukan, dia langsung membantah. Padahal bukti cetak sudah saya sodorkan. Menurut si pelaku, dia tidak menjiplak karena paragraf yang dia cutat itu berisikan pengetahuan umum. Dan, dia pun berkilah bahwa hal itu lumrah (mungkin di budayanya). Tapi, akhirnya dia mau menandatangani surat pengakuan dan menerima sanksi akademis. Bercermin dari pengalaman saya itu, saya sedikit khawatir dengan nasib anak didik kita di masa mendatang. Apalagi kalau mereka berkesempatan mencicipi bangku kuliah di luar negeri. Berbekal nilai UAN yang fantastis hasil dari kerja keras tim sukses (yang beranggotakan guru) ditambah garis pembeda yang rupanya agak kabur antara menjiplak dan tidak dalam penulisan, anak didik kita kemungkinan akan mengalami kejutan budaya akademik yang maha dahsyat yang menuntut integritas dan kejujuran diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun