Mohon tunggu...
Erik Supit
Erik Supit Mohon Tunggu... profesional -

Independent Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dialog-Dialog

24 September 2013   03:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:29 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setidaknya, ada dua film dalam ingatan saya, yang memiliki dialog-dialog yang intens: The Man from Earth (2007) dan yang lebih baru,  Lincoln (2012). Percakapan dibangun sinambung dan padat, sepanjang durasi. Penonton diajak untuk menelisik jauh ke isi kepala masing-masing pemeran. Meloncat dari satu kalimat ke kalimat lain. Layaknya sedang melintasi deretan puak diskusi pada koridor panjang, dengan suara-suara yang saling sahut. Menurut saya, film dengan perbincangan yang rapat, mempunyai tantangan yang tidak enteng. Bagaimana menjaga kebetahan pirsawan, untuk telaten mengikuti alur. Menarik-ulur suasana hati mereka supaya setia pada loncatan tiap adegan. Diatas, saya tuliskan penilaian "berbobot", tolok ukurnya didasarkan pada muatan makna pada kalimat tersebut. Khususnya untuk pembangunan nilai dan pesan moral yang ingin diberikan kepada penonton. Dalam Lincoln, penonton diajak menelusuri rangkai pembicaraan yang rumit. Tentang bagaimana peluncuran ide amandemen Ketigabelas Konstitusi Amerika Serikat yang akan menghapuskan perbudakan di negeri itu. Latar perang saudara yang berlangsung pada periode 1861–1865. Siapapun yang samasekali tidak memiliki bekal pengetahuan tentang topik itu, bisa jadi akan kelimpungan pada menit-menit awal. Tokoh-tokoh lawas, yang di jaman kini jarang disebut, muncul satu demi satu. Nama-nama seperti William H. Seward yang kala itu menjabat sebagai Sekretaris Negara, Pemimpin Kongres Republikan Radikal Thaddeus Stevens, Francis Preston Blair, Joseph Gordon-Levitt, Politisi Partai Republik William N. Bilbo John Hawkes, Kolonel Robert Latham ataupun Ibu Negara Mary Todd Lincoln mewarnai isi film. Membuka atau bahkan mengisi baru ingatan penonton, mengenai sejarah Amerika. Mereka saling tukas, debat dan sambar dalam rangkaian dialog yang ulet. Daniel Day-Lewis, yang memerankan lincoln dalam sosok yang tenang dan pemikir tegar, tampil cemerlang. Membawa cerapan pemirsa, untuk meyakini bahwa begitulah sosok Lincoln yang dikenang baik oleh rakyat Amerika itu. Pada seperempat bagian awal, saya keponthal-ponthal. Nyaris putus asa, karena tak mendapatkan sudut pandang  nyaman, untuk memahami tentang apa yang hendak di sampaikan di film itu. Namun menjelang paruh pertama durasi, berangsur saya mulai mengerti pokok bahasan yang  tengah diusungnya. Ini adalah sajian mengenai puncak pencapaian presiden Amerika ke-16 itu. Menjadikan negara tersebut lepas dari iklim perbudakan. Sekaligus lolos dari jeratan perang saudara antara negara-negara bagian utara dan selatan benua. Konflik-konflik berdarah tidak banyak tertayang dalam bahasa gambar peperangan, seperti halnya film berumpun action. Namun lebih banyak dimuat dalam sitiran dialog antar tokoh. Adegan bentrokan bersenjata hanya diberi porsi sedikit. Itupun tidak berkesan kolosal. Demikian juga dengan topik perbudakan. Sawala mengenai itu, dibungkus dalam perbincangan pejal dan intens. Dua kubu yang menguasai kancah politik Amerika saat itu,  partai republik dan demokrat, ulet bergelut lewat retorika-retorika, pada adegan yang silih berganti. Dari ruang-ruang di Istana presiden, kamar-kamar kerja para politisi hingga aula gedung konggres.  Mengikuti perbantahan maupun jurus-jurus silat lidah mereka, adalah cara jitu untuk memahami misi dari film ini. Penonton diminta menyelami, deret kalimat yang terjabar. Mengikuti liuk nada dari ujaran para tokohnya, hingga mendapat debar-debar fluktuasi konfliknya. Permaslahan internal keluarga Lincoln, berbalut satu dengan persoalan-persoalan politiknya. Selang-seling, mengisi satu sama lain. Tanpa ada ketelatenan dalam memperhatikan dialog, kesan terhadap film itu akan biasa-biasa saja dan cenderung membosankan. Keistimewaannya hanya bisa didapat, bila mencermati dan mengalirkan diri dalam riuhnya dialog. Semula, saya menganggap, untuk menonton sebuah film biografi atau sejarah yang tak akrab dengan kita, perlu menyiapkan sangu. Setidaknya membaca dulu catatan riwayat hidup atau sekelumit hikayat mengenai sang tokoh atau peristiwa yang dikisahkan. Namun ternyata, itu tak berpengaruh banyak. Kompleksitas film, akan membawa pada ruangan baru. Menyeret dalam suasana lain. Pengetahuan yang sebelumnya sudah dikudap, belum tentu sanggup beradaptasi dengan nuansa visual hasil simulasi sutradara. Seakan-akan, pengetahuan itu mesti disingkirkan dulu, supaya tidak menjegal konsentrasi menikmati jalan cerita. Paling tidak begitulah yang bisa didapat dari film Lincoln. Jejaring dialog yang sambut menyambut, sudah cukup untuk menjadi penuntun, memahami maksud dari film secara utuh. Istimewanya, kalimat-kalimat yang diwedar dalam percakapan di film itu terdengar apik.  Ungkapan yang dilontarkan oleh masing-masing tokoh, tidak patah-patah pada konteks yang sempit. Sebuah perbincangan adalah rangkuman banyak kejadian, yang diulas komprehensif, dalam bahasa sederhana dan kalimat sangkil. Sehingga penonton yang tak mengerti latar belakang sebuah wacana, bisa mendapatkan keterangan, dengan cara mencicil lewat pengamatan pada setiap dialog dalam penggal-penggal adegan. Resikonya, penonton mesti menyiapkan ketelatenan. Membiasakan diri untuk memperhatikan detil bahasa verbal maupun gestur pemeran-pemerannya. Menyesuaikan diri dengan naik-turunnya suasana, yang tidak diatur oleh dentuman musik latar atau perpindahan ekstrim antar gambar. Namun, suasana yang lebih dibangun oleh penekanan nada  dan ketukan bicara pada obrolan para pelakonnya. Hawa yang sama, juga saya alami ketika menonton The Man from Earth (2007). Sebuah film fiksi yang ditulis bagus oleh Jerome Bixby dan disutradarai oleh Richard Schenkman. Saya menyebut film itu sebagai pagelaran dialog ruang tamu. Sepanjang waktu tayangnya yang hampir 90 menit itu, penonton tidak disuguhkan dengan pemandangan yang beragam. Berkutat hanya di sekitaran  ruang depan dan teras  rumah kayu Professor John Oldman, yang diperankan David Lee Smith. Seorang yang misterius dan kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Hari itu, John tengah bersiap-siap, mengemasi barang-barangnya untuk beralih ke rumah barunya. Enam koleganya datang, menghaturkan ucapan selamat tinggal. Semacam acara kecil perpisahan, demi melepas kepergian John. Mereka adalah Harry, seorang biolog; Edith, profesor sejarah seni; Dan, seorang antropolog; Sandy, seorang sejarawan yang diketahui menaruh hati kepada John; Dr. Will Gruber, seorang psikiater; Art Jenkins, seorang arkeolog serta murid jenkins yang bernama Linda . Orang-orang itu, duduk berkumpul di sofa dan kursi lain, yang belum terangkut ke mobil pengusung perpindahan. Persoalan dimulai ketika rekan-rekan John menanyakan, alasan apa yang mendasarinya pindah. Pertanyaan tersebut berlanjut dengan keingintahuan mereka, mengenai keanehan sejumlah perilaku John dengan segala kecerdasaannya. John menanggapinya dengan datar. Namun itu tak membuat tekanan atas dirinya melemah. Teman-temannya kian mendesak, sebab menurut mereka, jawaban John tidak memuaskan. Akhirnya, John perlahan-lahan membuka diri. Dia mengaku kalau dirinya adalah seorang Cro Magnon. Manusia pra sejarah, generasi awal homo sapiens yang muncul kira-kira 40.000 tahun silam. Orang yang lahir di era Paleolitikum atau Zaman Batu Tua. “Bagaimana jika ada orang dari masa Paleolitikum bisa bertahan hidup hingga hari ini?” Katanya. Para koleganya menyeringai. Mengira John sedang sedang mengarang cerita fiksi. Tapi raut muka John tidak menyiratkan kalau ia sedang berbohong, apalagi bercanda. Pengakuan Profesor itu, kemudian menjadi topik yang liat, pengatur ritme degub cerita dalam dialog-dialog intelektual dan sains, mengenai kemungkinan adanya manusia yang bisa bertahan hidup dalam umur ribuan tahun. “Karena itulah aku sering berpindah, tiap 10 tahun” Ujar John “ sebab jangan sampai ada yang menyadari, bahwa ternyata tubuhku tidak mengalami penuaan. Menghindari kecurigaan” Lanjutnya dengan mata tajam. John  berkali-kali ganti nama, untuk lepas dari kecurigaan orang-orang sekitarnya, pada tiap pergantian zaman. Dia pernah memakai nama John Paley atau John Savage ketika zaman paleolitikum. Begitu juga saat berada pada zaman summeria sampai  masa babilonia dibawah raja Hammurabi, John terus bersulih nama. Lelaki itu juga menyatakan pernah akrab dengan Colombus dan berada satu kapal pada pelayaran dengan penjelajah benua baru itu. John mengaku mengalami itu semua secara sadar. Bahkan ia pernah menjadi teman akrab dari pelukis Van Gogh, yang ketika itu John mengenakan nama Jacques Borne. Sebuah lukisan van Gogh, masih tersimpan di ruang belakang rumahnya. Dibelakang benda seni itu, masih tertera tulisan "Untuk teman tercintaku, Jacques Borne". Edith mendapati lukisan itu teronggok, tidak ikut dikemas oleh John. Petualangan john untuk bertahan hidup dalam ruang-ruang waktu yang berbeda itu, juga pernah membawanya sebagai seorang profesor kimia di Universitas Harvard, dengan nama samaran John Thomas. Dimensi keilmiahan diangkat sebagai pisau bedah kemungkinan mengenai eksistensi John. Dikemas dalam dialog-dialog yang multi perspektif dengan latar suasana yang tak bergeser jauh. Dari ruang tamu rumah john hingga halaman rumahnya. Hanya berkutat disana. Ini bukan film ringan, yang sekali lewat , bisa langsung dimengerti. Film yang menuntut perhatian sinambung, pada jalinan percakapan yang kaya dengan istilah akademis. Wajar, sebab yang berkumpul disana adalah para pengajar perguruan tinggi dan pegiat ranah ilmiah. Keasyikan cerita justru dibangun dari kekayaan bahan dialog itu. Bagaimana mengupas fenomena John dari sudut pandang biologi tentang ketahanan makhluk hidup. Mengonfirmasi kebenaran cerita yang dituturkan John tentang masa lalunya, dari pengetahuan sejarah konvensional maupun teks-teks kitab suci. Hingga menelaah propabilitas john tengah mengidap sakit jiwa, dari kacamata psikologi. Campur baur saling lilit, di arena ruang tamu rumah kayu. Bagian akhir, menampilkan kejutan. Ketika sebagian besar teman-teman John tidak percaya dengan kisahnya, lantas meninggalkan rumah itu dengan kecewa atas pengakuan John. Tapi tidak dengan Dr. Will Gruber. Dia mengalami kegelisahan, antara ragu dan yakin dengan cerita John. Ada satu hal yang membuatnya demikian. Sekelebat tadi, dia mendengar salah satu nama samaran John yang mirip dengan nama ayahnya. Sang ayah adalah profesor kimia di Harvard. Gruber mempertanyakan perihal nama itu. Alangkah kagetnya, gruber, begitu mendengar jawaban John, bahwa John Thomas adalah nama yang pernah ia pakai sebagai aliasnya. John juga mengiyakan tentang status pekerjaan sebagai profesor kimia di Harvard. Itu artinya, John Oldman sama dengan John Thomas. Nama ayah Gruber yang meninggalkan anak istrinya enampuluh tahun silam, demi menghindari kontroversi, tentang badannya yang tidak lapuk di terpa zaman. Kekuatan bahasa menjadi syarat pokok pada kedua film yang disebut diatas. Penonton tak banyak diseguhkan lanskap-lanskap visual riuh. Hanya setting yang terkesan ajeg dengan perpindahan yang lambat. Resiko dari penyajian film berjenis ini adalah penguatan dialog. Naskah diolah sedemikian rupa, supaya menghadirkan percakapan-percakapan yang tidak menjenuhkan dengan lempar-tangkap obrolan yang mesti memikat suasana hati pirsawan. Menumbuh kembangkan rasa keingintahuan. Barangkali, peran keluwesan bahasa Inggris di film-film itu  turut menentukan. Makna-makna yang dalam dan dipahami sepenuhnya, pemilihan kata yang efisien dan susunan kalimat ekspresif  yang indah, memungkinkan diusung oleh bahasa tersebut, tanpa ada tuduhan sinis bahwa ujaran tersebut bernada “puitis” yang dibuat-buat. Sayangnya, saya belum banyak menemukan film Indonesia dengan dialog-dialog yang ulet. Satu yang masih terekam di benak saya adalah film Pengkhianatan G30S/PKI, yang tayang pada periode 1984 hingga 1997 di TVRI. Sinema garapan Arifin C Noor itu menghadirkan percakapan-percakapan pejal, dengan Bahasa Indonesia yang diutarakan lentur. Meskipun dari segi keabsahan tema kejadian, film tersebut kontroversial, namun di luar itu, suasana penyajian perbincangan yang intens di dalamnya, cukup mempesona. Bila di kemudian waktu, jarang didapati film-film Indonesia dengan dialog yang ulet, barangkali karena faktor bahasa juga menjadi ganjalan. Kian kesini Bahasa Indonesia baku, semakin terasa kaku dan tidak akrab. Masih kalah luwes dibanding bahasa jawa, batak, betawi, minang atau bahasa etnis lain untuk ping-pong wicara secara intensif. Barangkali, perlu pembiasaan yang rajin lagi untuk mencapai tahap itu. Penulis naskah perlu siasat pemilihan kata, sutradara butuh jurus-jurus cerdas untuk membangun suasana dialog bermuatan makna yang menaut suasana batin penonton, menggunakan bahasa itu. Karena untuk konsisten dengan menggunakan bahasa etnis tertentu - yang sudah luwes - juga tidak ramah pasar. Pengguna-penggunanya butuh mengakrabkan diri lagi, supaya kesan-kesan yang kaku itu hilang. Pengelompokan antara formal dan informal juga tidak membelenggu. Menjadi tak asing ketika mendengar ujaran yang memakai bahasa Indonesia baku.  Hingga tidak ada lagi reaksi sindiran kepada penggunanya,  “Ah, lu kok puitis banget sih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun