Maka, di dekade pertama abad 20, lalu bersambung di masa-masa berikutnya, persoalan pakaian dan tata krama yang diskriminatif itu paling disorot oleh gerakan-gerakan emansipasi. Sarekat Islam, adalah organisasi yang santer menggulirkan isu kesejajaran status sosial itu. Tak lama setelah konggres-konggres terbukanya di kisaran 1911-1913, perlawanan terhadap sekat kemasyarakatan terus membanjir. Keberanian-keberanian rakyat jelata untuk menjebol tatanan yang sudah nyaris membeku, tentang pakaian dan etiket, melanda sebagian besar Jawa. Termasuk yang dilakukan oleh Soemarsono, sebagaimana yang diceritakan diawal tulisan ini. Seorang pemuda bergelar Raden, anak seorang jaksa kepala di magelang. Soemarsono adalah penghuni kelas menengah yang mendapatkan kemudahan-kemudahan akses hidup di hindia timur. Dia lulusan HBS, fasih berbahasa belanda, pegiat Boedi Oetomo, pemrakarsa berdirinya Sarekat Islam di Purwakarta. Diantara sekian kemudahan itu, Soemarsono gelisah dengan diskrimasi yang dicanangkan pemerintah kolonial lewat tata berbusana, berbahasa dan tata susila. Perangkat perundang-undangan yang meletakkan bangsa bumiputera sebagai subsistem kebudayaan yang kalah dan termarjinalkan. Soemarsono memberontak, memberanikan dirinya meretakkan lapis-lapis pembeda itu.
Perubahan zaman, senantiasa diindikasikan dengan peralihan komponen-komponen kehidupan. Pakaian, termasuk sebagai penanda itu. Masa berganti, begitu juga dengan model baju berikut cara memakainya. Menyeberangnya sebuah cara berpikir, pemahaman budaya, dari satu kawasan ke kawasan lain, ditunjukkan dengan pengenalan cara-cara baru berbusana. Secara merambat, pergeseran tata busana ini akan beriring pula dengan perubahan cara berpikir masyarakat rambahan. Termasuk dengan berubahnya cara berbahasa. Pakaian tak hanya tentang bagaimana cara menutupi tubuh dan tampil santun. Tapi juga mengenai sebuah kekuatan politik-ekonomi-budaya, yang mengikatkan kontrol. Meneguhkan kuasanya dengan hal yang nyaris tak terasa. Masuk dalam alam bawah sadar manusia, memaksa orang secara halus, mengenai apa yang layak-tidak layak dipakainya. Cita rasa berbusana, yang merupakan hasrat dasar manusia, diterabas dan didikte untuk kepentingan-kepentingan pembuatan kelas dan identifikasi peta gerak sosial.
Dari tiap penggal masa, perubahan itu bisa dikenali dengan gejala yang kecil seperti dengan mengamati dinamika mode busana juga cara mengenakannya. Di awal abad 19 itu, hindia timur yang kemudian menjelma menjadi Indonesia, merayapi hal yang sama. Pakaian telah menjadi semangat bergerak dan mendobrak. Penanda bergulirnya periode baru kehidupan. Dari masyarakat terjajah, beralih kepada masyarakat yang menginginkan kemandirian. Orang-orang memprotes apabila cara berpakaiannya dilarang untuk sejajar dengan eropa. Seperti yang dialami oleh Soekarno, saat hendak mengucapkan sumpah pernikahan atas istri pertamanya, Oetari Tjokroaminoto. Cindy Adams, dalam Soerkarno penyambung lidah rakyat Indonesia, menceritakan konflik pakaian itu.
Penghulu yang hendak menikahkan, melarang pemuda Soekarno mengenakan dasi. Hal tersebut langsung membuat pemuda yang tengah terbakar semangat emansipasi itu membela diri. "Tuan Kadi" Kata Soekarno, "Saya menyadari, bahwa dulunya mempelai hanya memakai pakaian Bumiputera, yaitu sarung. Tapi ini adalah cara lama. Aturannya sekarang sudah diperbarui." Ya, akan tetapi pembaruan itu hanya untuk memakai pantalon dan jas buka." kata sang penghulu membentak. Dengan lantang, Soekarno menjawab " Adalah kegemaran saya untuk berpakaian rapi dan memakai dasi. Dalam hal ini, kalau masih terus berkeras kepala untuk berpakaian seperti yang diharuskan penghulu itu, saya menolak untuk melakukan pernikahan". Waktu berjalan, zaman berubah, kuasa bergeser, begitu pula dengan cara berpikir dan argumentasi-argumentasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H