Bagi umat Islam, Zakat merupakan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai bukti bahwa kita taat kepada Allah SWT. Zakat secara harfiah berarti "suci", "bersih" dan "tumbuh". Secara istilah, zakat adalah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh seluruh umat Islam ketika telah mencapai nisab.
Perintah zakat dapat ditemukan dalam Q.S Al-Baqarah ayat 43:
Artinya: "Dan dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat dan rukuklah kamu beserta orang-orang yang rukuk."
Zakat diamanatkan pada tahun kedua kalender Islam atau hijriah, bersamaan dengan penentuan kekayaan dan proporsi yang diamanatkan oleh Zakat. Orang yang mengeluarkan zakat dikenal dengan Muzakki, dan orang yang menerima zakat dikenal dengan Mustahiq.
Adapun kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat telah ditentukan dalam Q.S At-Taubah ayat 60:
Artinya: "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, 'Amil zakat, mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Selain sebagai bukti ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya, zakat memiliki banyak peran penting lainnya. Dengan kata lain, zakat merupakan bentuk solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Zakat memiliki kemampuan untuk mempersempit kesenjangan sosial antara yang mampu dan yang berhak menerima zakat.
Selain itu, zakat menempati posisi yang sangat penting dalam bidang ekonomi. Zakat tidak hanya menopang perekonomian mustahiq, tetapi juga berfungsi sebagai penyeimbang bagi sektor ekonomi negara. Dalam jangka panjang, tujuan utama zakat adalah untuk mengubah Mustahiq menjadi Muzakki. Dari sana, kita dapat melihat bahwa zakat memainkan peran utama dalam menutup kesenjangan ekonomi di masyarakat.
Selain untuk mendanai proyek-proyek sosial, fungsi zakat dapat berlanjut sebagai sarana kebijakan pendapatan dan belanja negara atau kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal telah dikenal dalam pemerintahan Islam sejak zaman Nabi . Pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat, Baitul Maal Adalah lembaga keuangan pemerintah, sehingga didalamnya terdapat sistem kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal Baitul Maal berdampak positif pada level investasi, penawaran agregat, dan secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Menurut (Arif, 2015) Pada zaman Rasulullah, sumber pendapatan dibagi menjadi tiga kelompok:
- Penerimaan negara dari kaum muslim yang meliputi: Kharaj, zakat, 'Ushr, zakat
fitrah, wakaf, infaq dan shadaqah, amwal fadhla (harta orang Islam yang
meninggal tanpa ahli waris), nawaib dan Khums. - Pendapatan dari kaum non-muslim yang meliputi: Jizyah, Kharaj dan Ushr.
- Pendapatan lain yang meliputi: Ghanimah, Fai', uang tebusan untuk tawanan
perang, kaffarat, hadiah serta pinjaman dari kaum muslim dan non-muslim.
Menurut ekonomi Islam, kebijakan fiskal harus berfungsi untuk mengalokasikan, mendistribusikan, dan menstabilkan pendapatan dan pengeluaran nasional. Sistem perpajakan Islam harus menjamin bahwa beban utama pajak dipikul oleh golongan kaya dan makmur yang mempunyai kelebihan.
Ciri-ciri kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam adalah sebagai berikut:
- Pengeluaran negara dilakukan berdasarkan pendapatan, hal inilah yang menjadikan negara jarang mengalami defisit anggaran.
- Sistem pajak proporsional, pajak dalam ekonomi Islam dibebankan berdasarkan
tingkat produktivitas. Misalnya kharaj, besarnya pajak didasarkan tingkat
kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman. - Perhitungan zakat berdasarkan hasil keuntungan bukan pada jumlah barang. Misalnya zakat perdagangan yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil keuntungan,
sehingga tidak ada pembebanan terhadap biaya produksi (Rozalida, 2014).
Pembangunan masyarakat berdasarkan distribusi kekayaan yang seimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama dan seimbang adalah tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam. Zakat memenuhi semua persyaratan untuk menjadi alat kebijakan fiskal dan karena itulah zakat dapat digunakan sebagai alat kebijakan fiskal.
Sebagai instrumen kebijakan fiskal, fungsi zakat dalam mencapai tujuan kebijakan fiskal, antara lain sebagai alat redistribusi pendapatan dan kekayaan, sebagai stabilisasi ekonomi, dan sebagai alat untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dhuafa (fungsi alokasi).
Zakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat. Pembangunan ekonomi terkait bisnis menjadi prioritas utama bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Produk zakat memiliki legitimasi yang kuat untuk dimasukkan ke dalam sistem perpajakan nasional. Zakat tidak memberikan multiplier effect yang kecil terhadap peningkatan pendapatan apabila dilakukan secara sistematis dan terorganisir.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, di Indonesia zakat memiliki pembenaran yang kuat ketika diintegrasikan dalam sistem fiskal. Hal ini didukung oleh fakta bahwa topik yang paling banyak dibicarakan dalam keuangan Islam adalah masalah Zakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI