Mohon tunggu...
erika yp
erika yp Mohon Tunggu... Lainnya - Erika Yuliana Pramesti

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Muhammadiyah Malang 2020

Selanjutnya

Tutup

Money

Dampak Larangan Ekspor Batu Bara oleh Presiden Jokowi terhadap RI

23 Januari 2022   14:14 Diperbarui: 23 Januari 2022   14:20 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal tahun baru 2022 Presiden RI Jokowi menetapkan bahwa akan diberlakukan larangan ekspor batu bara pada 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Kebijakan pemerintah untuk melarang ekspor batu bara untuk sementara waktu berimbas pada beberapa perusahaan di industri pertambangan batu bara, salah satunya PT Indika Energy Tbk (INDY).

Adi Pramono, Sekretaris Perusahaan Indika Energy, dalam keterangannya di situs Bursa Efek Indonesia Kamis (6 Jan), mengatakan larangan ekspor batu bara akan berdampak signifikan bagi INDY, terutama anak perusahaan yang memiliki bisnis inti. Kegiatan di industri batubara. Hasil sebenarnya akan  tergantung pada berapa lama larangan ekspor berlangsung. Hingga saat ini, INDY masih mempertimbangkan dampak larangan tersebut terhadap kinerja keuangan,  operasional, permasalahan hukum dan kelangsungan usaha INDY dan/atau anak perusahaannya.

Saat ini, Indika Energy sedang mengkaji signifikansi dan detail dampak larangan ekspor batu bara terhadap operasionalnya. Larangan ekspor ini dapat mengakibatkan hilangnya impor batubara dan kerugian lainnya seperti biaya demurrage, pembatalan tongkang dan kapal, serta denda. Dengan demikian, ada kemungkinan kontrak dengan pembeli, pemasok dan/atau pihak terkait lainnya tidak dapat dilakukan tergantung pada lamanya embargo batubara. Kedepannya, INDY berencana untuk meminimalkan dampak risiko komersial dan keterlambatan pengiriman di bulan Januari melalui komunikasi dan negosiasi yang erat dengan pembeli di luar negeri. "Kami akan terus mematuhi embargo batubara  untuk memenuhi pasokan domestik kami untuk memenuhi kewajiban pasar domestik (DMO) kami," kata Adi.

Pada kuartal ketiga tahun 2021, pendapatan INDY adalah $ 2,15 miliar. Angka ini adalah $1,5 miliar, meningkat 43,3% dibandingkan penjualan tahun sebelumnya. Dari total penjualan, penjualan batu bara mencapai 1,77 miliar dolar, dengan pembeli asing 4.444 dolar 1,32 miliar dolar dan pelanggan domestik 451,2 miliar dolar. Seperti diketahui, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat  Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) telah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor batu bara oleh perusahaan tambang batu bara. Kebijakan ini tertuang dalam Surat No. 31 Desember 2021. B1605/MB.05/DJB.B/2021. Larangan ekspor batu bara tersebut berlaku mulai 1 Januari  hingga 31 Januari 2022. Larangan ekspor ini diberlakukan karena kelangkaan batu bara untuk pembangkit listrik domestik.

 Sementara itu, Bhima Yudhistira, Direktur Center for Economic and Legal Studies (CELIOS), memperkirakan larangan ekspor batu bara dapat mempengaruhi perekonomian negara. Tidak. "Khususnya dalam hal impor dan ekspor nasional. Bisa rugi besar," kata Bima kepada Kontan.co.id, Minggu (1 Feb). Dari sisi impor, Bhima menjelaskan pelarangan batu bara dapat menyebabkan penurunan impor pemerintah, khususnya Pajak Laba Ekspor (PPh).

Indonesia pun merasakan manisnya penerimaan pajak yang mencapai 100% dari target 2021-nya. Bhima mengatakan peningkatan permintaan batu bara yang tidak terduga sangat membantu. Dari sisi ekspor, Bhima memperkirakan batubara akan menyumbang sekitar 15% dari seluruh ekspor nonmigas dari Januari 2021 hingga November 2021. Jika larangan batubara diterapkan sepenuhnya, Indonesia dapat menderita kerugian ekspor  hingga $4,1 miliar per bulan. . Bahkan,  neraca perdagangan  Januari berpotensi defisit setelah berubah menjadi surplus selama 19 bulan berturut-turut.

 "Neraca perdagangan Januari 2021 bisa antara $50 juta dan $80 juta. Mereka biasanya mencetak surplus yang signifikan, namun saat ini bisa mencapai US$3 miliar hingga US$5 miliar," kata Bhima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun