Mohon tunggu...
erika selvianti
erika selvianti Mohon Tunggu... -

Saya baru saja lulus dari sebuah Sekolah Menengah Atas di Tangerang. Saya sangat mencintai Bahasa Indonesia dan juga sangat suka dengan koran dan berita. Saya bercita-cita ingin menjadi seorang jurnalis yang bisa tahu banyak tentang seluk beluk bahkan akar masalah yang ada di negeri saya ini, karena saya prihatin sekali dengan keadaan negeri ini, dan dimana pula banyak anak seumuran saya yang masih kurang akan nasionalismenya. Mungkin cukup itu yang bisa saya deskripsikan. Oh ya, saya ini seorang yang sangat menghargai seorang yang militan seperti Ir. Soekarno dan Mahatma Ghandi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Diplomat dalam Sangkar

22 Mei 2010   04:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:03 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segelintir kecewa mulai hampiri Rama Mardantia. Ia kecewa dengan perkataan ayahnya yang menyebutkan "Ram, kamu tuh ngaca diri dulu kalau bertindak". Rama menyesal. Ia pikir ia betul ketika ia memulai percakapan dengan ayahnya mengenai keinginannya untuk kuliah. Tak tanggung-tanggung memang, ia ingin berkuliah di Universitas nomer 1 di Indonesia.
Ayahnya kesal saat itu. Ia kesal dengan dirinya sendiri yang tidak mampu merealisasikan keinginan bocah sulungnya itu. Ayahnya akui, Rama memang anak yang tidak bodoh-bodoh amat. Ia cepat menangkap pelajaran yang diberikan guru-gurunya ketika di sekolah. Rama sering mendapat penghargaan atas prestasinya tersebut.
Rama menjawab lemah ucapan ayahnya, "Ayah, orang miskin juga layak mengenyam pendidikan setinggi langit. Apa salahnya kalau Rama mencobanya yah ?". Rama setengah menunduk. Ia berharap semoga kata-katanya tidak menyinggung hati ayahnya itu.
"Itu yang kurang tepat nak. Mimpimu itu yang terlalu tinggi. Harusnya kamu mensyukuri apa yang telah kamu dapati sekarang. Jalani dulu apa yang ada di depan mata kamu. Jangan terlalu banyak mau ini itu. Justru hal itu yang bisa buat kamu terjatuh". Ayahnya menghela nafas panjang, begitupun Rama.
Rama tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Ia iba dengan ayahnya. Ayahnya memang sudah tidak muda lagi. Terlihat betul kerutan-kerutan di wajahnya itu. Aura letihnya itu tidak bisa ia sembunyikan.
Hal itulah yang membuat Rama semangat dalam mengejar cita-citanya. Ia hanya ingin membahagiakan kedua orang-tuanya. Ia ingin menjadi tulang punggung keluarga yang bisa dijadikan tauladan yang baik bagi kedua adik-adiknya. Itu sebabnya ia mau bermimpi. Ia betul-betul mau mengeyam pendidikan yang setinggi mungkin, karena ia percaya, hanya dengan pendidikan-lah ia bisa merubah nasibnya dan juga keluarga.
Ia hanya ingin itu. Ingin hidup berkecukupan dunia juga akhirat karena ia kaya ilmu. Ia ingin menjadi diplomat. Sederhana sekali harapannya itu. Tapi justru ada makna di balik semua itu.
"Aku ini hanya diplomat dalam sangkar", ucapnya lirih seraya ia tuliskan di catatan kecilnya.

***

Pagi itu Rama bangun agak awal. Ia segera mengambil air wudhu dan sholat shubuh. Selesai dari itu ia segera mandi. Ibunya telah mempersiapkan sarapan untuk putra tercintanya itu. Kedua adiknya, Adira dan Agira belum bangun. Ayahnya nampak santai menghirup segelas kopi hitam pekat buatan istrinya.
Rama sudah siap hendak berangkat ke sekolah. Ia berpakaian rapih,dan menyisir rambutnya dengan rapih. Ia duduk di kursi rotan sederhana di ruang keluarganya yang hanya beralaskan semen. Ia menghirup teh manis buatan ibunya.
"Kok teh-nya nggak manis ya bu ?. Apa ini perasaan Rama saja ya ?", ucap Rama seraya terheran-heran.
Ibu dan ayahnya saling pandang. Sebentar terdiam, sampai akhirnya ibunya menjawab "Persediaan gula kita sudah hampir habis Ram. Ayahmu tidak punya uang sekarang. Maaf ya nak". Ibu Rama menjawabnya dengan mata berkaca-kaca, sementara ayahnya mungkin bergumam di hati karena kesal pada dirinya sendiri.
Hati Rama seperti terkoyak mendengar kata-kata ibunya itu.
"Harusnya kita bersyukur bu masih bisa minum teh manis ya walaupun tanpa gula. Sedangkan masih banyak orang di luar sana yang buat minum saja susah. Ibu nggak usah khawatir, Rama kan sebentar lagi lulus SMA bu. Rama akan cari kerja untuk bantu ayah dan ibu", ucap Rama seraya menyalami tangan kedua orang-tuanya. Ibu dan ayahnya sedih bukan main.
"Assalamu'alaikum", sambungnya dan segera melesat dengan sepeda tuanya.
Pagi ini Rama memang datang lebih awal. Ia kebagian jatah tugas piket dari kelasnya. Rama tergolong murid yang rajin dan pintar di sekolahnya. Tak jarang ia mendapatkan juara kelas. Ia juga sering dibebaskan dari biaya sekolah karena mendapat beasiswa atas prestasinya itu. Ia sangat senang berbicara. Ia senang dengan pelajaran Kewarganegaraan, apalagi kalau sudah berdebat, jangan harap lawannya itu bisa menyanggah balik apa yang diucapkan Rama. Sepertinya Rama memang dibekali jiwa kepemimpinan yang kuat, dan juga jiwa politisi yang hebat. Walaupun ia nampaknya diam dan tidak neko-neko, tapi ia sangatlah cerdas.

Siang harinya di sekolah, ada penawaran penerimaan mahasiswa baru lewat jalur PMDK (jalur bagi murid-murid berprestasi). Hampir semua teman-teman Rama mencobanya, terkecuali Rama. Rama hanya diam. Ia masih sibuk dengan buku matematika di hadapannya. Seorang temannya bernama Ari menghampirinya. "Ram, kok kamu nggak coba PMDK itu ?. Kalau kamu ikut, wah kamu pasti bisa masuk tuh Ram", ucapnya cengengesan.
Rama diam sejenak. Ia teringat ucapan ayahnya. "Aku nggak akan ikut PMDK apapun, ri", ucap Rama seraya tersenyum renyah pada Ari. "Aku mau orang tuaku bahagia ri, oleh sebab itu jangan tanya hal itu lagi padaku". Nampak ada raut bersalah dari Ari. Ia tidak menyangka ucapannya membuat hati Rama sakit.
"Maaf Ram, aku janji nggak akan ngomong gitu lagi. He he he". Ari menjawab ucapan Rama dengan berusaha sesantai mungkin agar bisa mencairkan suasana. Ari sudah berteman dengan Rama empat tahun belakangan ini. Ari tahu betul bagaimana Rama, termasuk bagaimana kondisi keluarganya. Ari turut prihatin dengan keadaan temannya itu, tapi apa boleh dibuat, Ari juga tidak bisa berbuat apa-apa karena orang tuanya pun belum terlalu berkecukupan.
Bel tanda istirahat selesai. Semua murid-murid masuk kembali ke kelas. Bu Asiyah juga masuk. Wajah sangarnya menghiasi ruangan kelas 3a. Bu Asiyah adalah guru Fisika. Ia berparas sangar dan berperangai mengerikan. Ia membagikan hasil ulangan murid-murid yang diadakan hari rabu lalu. Semua murid maju satu-persatu untuk diberikan nasihat. Tibalah nama Rama Mardantia dipanggil. Rama melangkah dari tempat duduknya dengan hati gemetar. Ia takut kalau-kalau nilai Fisikanya jelek. Ia buang semua pikiran negatifnya itu. Ia duduk tenang di hadapan Bu Asiyah seraya menunduk.
"Selamat Rama, nilai kamu paling tinggi". Rama kaget bukan main mendengar ucapan Bu Asiyah. Rama tersenyum simpul pada ibu guru sangar itu. "Kamu pintar Rama, kamu tidak coba universitas negeri yang dekat dengan kota kita ini ?", ucap Bu Asiyah sambil membetulkan kacamatanya. Rama sendiri bingung harus menjawab apa. Ia terus menunduk sampai Bu Asiyah kembali menegurnya.
"Rama ?"
"Orang tua saya tidak punya biaya bu. Lagipula saya tidak bercita-cita tinggi". Di dalam hati, Rama mengelus dada. Ia sakit sekali ketika mengucapkan hal tersebut, sementara Bu Asiyah hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sepulang Rama dari sekolah, seperti biasa ia membantu ibunya mengambil air ke sungai untuk kebutuhan keluarga mereka sehari-hari. Adiknya, si kembar Adira dan Agira juga turut membantu.
"Mas, aku punya berita lho", si centil Adira memulai percakapannya dengan mas tercintanya, Rama.
"Berita apa dek ? Dasar kamu tuh ya.."
"Itu loh mas, mas tau mas dodo kan ? dia itu kan sudah jadi manusia sarjana, tapi kok 'ndak keterima-keterima kerja yo mas"
"Itulah kalau hanya modal pendidikan tinggi tapi 'ndak punya kemampuan dek. tetap saja percuma", ucap Rama menjelaskan seraya mengelus rambut kedua adiknya. "Iya juga yo mas", celetuk Agira menambahkan ucapan kembarannya.

Rama segera mengangkut air yang telah diumbalnya. Sesekali peluhnya menetes. Ia usap dengan tangan sampai sela sikunya. Adira dan Agira juga turut membantu. Bocah kembaran itu nampak bersemangat membantu mas kesayangan mereka.

Sesampainya Rama dan adik kembarnya dirumah, Ibu Rama sudah menyediakan makan siang untuk ketiga anaknya itu. Rama segera mencuci tangannya dan hendak segera makan. Belum sempat ia mengambil nasi, terdengar suara memanggil dari luar rumahnya.

"Salamun 'alaikum"

"Wa 'alaikum salam warahmatulah"

Rama segera bangkit dari duduknya. Ternyata tamu itu adalah Ibu Asiyah. Guru Fisika di sekolah Rama. Bu Asiyah tersenyum pada Rama. Rama kaget bukan kepalang. Tak seperti biasanya Bu Asiyah hendak berkunjung ke rumahnya.

"Oh Ibu, mari bu mari masuk", ucap Rama setengah gelagapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun