Mohon tunggu...
Erika Putri Wulandari
Erika Putri Wulandari Mohon Tunggu... Lainnya - Student

A full-time learner and aspiring writer.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Strategi Menjawab Tantangan Ekonomi di Era Pandemi: Sebuah Gagasan Solutif

11 Mei 2020   13:26 Diperbarui: 11 Mei 2020   13:28 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kabar mengejutkan datang dari Airy Rooms---sebuah perusahaan teknologi yang bertujuan memberikan pelayanan terhadap pemesanan tiket, hotel---tempo hari lalu. Per tanggal 31 Mei 2020, perusahaan ini akan resmi tutup secara permanen (9/5/2020). Selain itu, sebuah bisnis berbasis pariwisata lainnya seperti Batik Hamzah di Malioboro juga terpaksa tutup sementara disebabkan oleh toko mereka yang sepi pengunjung, apalagi pengunjung yang biasanya sengaja menjadikan toko ini sebagai salah satu objek dalam kegiatan rekreasinya.

Kondisi yang teramat disayangkan ini dipicu Novel Coronavirus atau COVID-19 yang beberapa bulan ke belakang ini mewabah di Indonesia. Terhitung sudah banyak sekali usaha-usaha yang diharuskan mencari alternatif lain demi tetap berpenghasilan; mulai dari mempekerjakan karyawan mereka di rumah, memberi cuti berbayar (paid leave) dan cuti di luar tanggungan (unpaid leave) sampai kurun waktu yang diperhitungkan, hingga mengurangi jumlah staf mereka dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Tentunya beberapa pertimbangan dilakukan sekaligus memantau arus kas perusahaan.

Berbagai macam usaha biasanya membutuhkan modal ventura selama masa operasinya. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perusahaan modal ventura merupakan badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu. Di era pandemi sekarang, hal tersebut menjadi kendala besar. Dalam jangka waktu yang pendek saja, kemampuan usaha-usaha ini dalam bertahan tanpa modal dan pengunjung atau pembeli berujung pada kerugian.

Khusus usaha yang menjadikan barang berwujud (tangible) sebagai output-nya, bentuk alternatif yang dapat dicoba ialah penjualan berbasis daring. Pun tidak sedikit juga usaha yang melakukan metode ini dari sebelum munculnya pandemi, mengingat penggunaan teknologi telah lama familier di abad ke-20. Akan tetapi, kini kegiatan berbasis daring mesti semakin gencar dilakukan sebagai usaha mempertahankan bisnis. Kurangnya permintaan serta bertambahnya saingan dalam pelaksanaannya jelas merupakan tantangan tersendiri. Untuk itu, pemetaan strategi yang tepat sangat diperlukan, dimulai dari menyadari pentingnya soft skill. Baik hard skill dan soft skill saling melengkapi (Nieragden, 2000). Pemasaran digital, misalnya, bersinggungan erat dengan kemampuan berkomunikasi dan manajemen pelayanan.

Definisi soft skill, The Collins English Dictionary menyebutkan, adalah kualitas yang diinginkan untuk bentuk pekerjaan tertentu yang tidak bergantung pada pengetahuan yang diperoleh: akal, kemampuan untuk berurusan dengan orang, dan sikap fleksibel. Tidak seperti hard atau functional skill, keunggulan dari soft skill yakni tidak terikat pada profesi khusus saja. 

Bahkan sebuah studi menunjukkan bahwa hard skill berkontribusi hanya 15% untuk keberhasilan seseorang, sedangkan 85% lainnya didominasi soft skill (Watts & Watts, 2008, seperti dikutip dalam John, 2009). Jika studi tersebut mengambil sampel dari perusahaan atau usaha yang biasa beroperasi secara tatap muka, bukankah ketika era pandemi yang berperan sebagai salah satu situasi tidak terduga kemudian terjadi, maka urgensi soft skill lantas muncul ke permukaan?

Selain contoh yang disertakan mengenai pemasaran digital dalam praktiknya tadi, terdapat juga contoh-contoh lainnya. Sebelum itu, ada baiknya mengetahui apa saja soft skill yang relevan di masa kini. Hasil survei yang dilakukan University of Applied Sciences (UAS) Technikum Wien di Vienna mengatakan bahwa peringkat teratas soft skill yang dibutuhkan di sebanyak 280 lowongan kerja ialah kemampuan berbahasa Inggris (55,7%), kemudian diikuti oleh self-motivation (49,2%), integrasi tim (40%), kemampuan komunikasi (49,2%), dan manajemen proyek (29,7%). Bergantung pada lokasinya, peringkat-peringkat dari soft skill yang disebutkan dapat bervariasi, namun tetap nyata dibutuhkan di dunia pekerjaan.

Sering kali instansi pendidikan formal tidak memerhatikan hal ini lebih lanjut dan memfokuskan pembelajaran di hard skill saja. Pelaksanaan soft skill yang tersirat dalam kegiatan presentasi tanpa digaungkan kegentingannya menyebabkan para pelajar menganggap sepele kemampuan ini, seperti berpikir soft skill nantinya diperoleh seiring berjalannya waktu dan pengalaman. Tidak sepenuhnya salah memang, tapi bukankah akan lebih baik lagi mengantisipasi hal ini sedari awal?

Era pandemi turut menyadarkan kita bahwa tidak selamanya kita bisa bergantung pada pekerjaan yang sudah kita miliki. Tidak semua jenis pekerjaan bisa memanfaatkan situasi serba daring sebagai pusat penghasilan, pun tidak menutup kemungkinan adanya karyawan yang terdepak dari umumnya korporasi yang sedang berusaha meminimalisir pengeluaran seefisien mungkin. Di sinilah kelanjutan pentingnya soft skill disertakan lewat contoh, seperti ketika memutuskan menjadi pekerja lepas (freelancer).

Beberapa orang yang sudah biasa menggeluti freelance bisa menjadikan pendapatan dari sana sebagai alternatif---atau sekarang menjadi pemasukan utama mengingat pandemi---termasuk juga yang lainnya saat kehilangan pekerjaan mereka. Banyak jenis lowongan pekerja lepas yang membutuhkan kemampuan berbahasa (menerjemahkan, menulis konten, ghostwriting, dan lain-lain), membuat kalimat iklan, penciptaan situs, dan masih banyak lagi berkaitan erat dengan soft skill relevan yang sempat disinggung sebelumnya. 

Memiliki kemampuan berkomunikasi yang handal tampak semakin dibutuhkan ketika harus membuat penawaran pengambilan pekerjaan dengan klien, sebuah sistem yang secara umum dianut dunia freelance.

Banyak situs daring yang sekarang memberikan pembelajaran mulai dari hard skill hingga soft skill, seperti SkillAcademy. Beberapa waktu lalu malah situs tersebut menawarkan pembelajaran secara gratis menyambut COVID-19, diikuti oleh situs Udemy dan lainnya yang tidak disebutkan di sini. Selain menggratiskan pembelajaran, banyak juga harga-harga kelas yang dikurangi dari harga semula. Pemerintah pun tidak tanggung-tanggung mendukung pembelajaran keterampilan baru melalui kartu prakerja, sebuah bantuan biaya pelatihan bagi masyarakat Indonesia yang ingin mengeksplorasi kemampuannya.

Berangkat dari kerangka berpikir pentingnya soft skill dan sinerginya bersama hard skill, meningkatkan keterampilan keduanya dapat berwujud sebagai gagasan solutif baik merespon COVID-19 atau seterusnya ketika pandemi ini resmi sirna dari peradaban. Dengan kesadaran ini, diharapkan adanya kelahiran masyarakat Indonesia yang semakin berkualitas. Tidak hanya sekadar siap untuk dunia pekerjaan saja, melainkan sebagai seorang individual yang independen.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun