Hari ini Advent Pertama. Gereja penuh nuansa ungu dan sukacita. Seperti mengingatkan bahwa tiga minggu lagi kami merayakan Natal.
Keluar dari gereja tadi pagi, saya terpana. Ada suara khotbah di kejauhan. Dari masjid. Keras sekali. Saya mencari-cari arah suara. Rupanya suara dari masjid  sebelah mal di Jakarta Selatan. Pengajiankah ? Entahlah.
10 menit diam mendengarkan ceramahnya. Penasaran. Isinya soal Reuni 212 yang sedang berlangsung di Monas pagi ini. Beberapa bagian khotbah masjid itu mengecam reuni itu. Bla ..bla. Yang ada di kepala : Untuk apa dikecam ? Untuk apa nyinyir ? Mengecam sesama penghuni perahu yang sama...? Biarlah mereka bereuni. Berbuat sesuai keinginannya. Asal tak menabrak aturan yang disepakati.
 Saya yang sangat berbeda dan berada di perahu berbeda saja tidak ikut mengecam. Pendeta sama sekali tak menyinggung soal itu. Satu kalimatpun tidak. Gereja pagi itu sesak oleh umat. Reuni tidak menyurutkan antusiasme yang berlebih. Biasa saja. Tidak merasa lebih baik atau lebih rendah dari perahu besar itu
Kuncinya belajar. Belajar menerima perbedaan tidak di tataran mulut dan otak. Tapi tataran hati. Belajar membongkar paradigma-paradigma yang tumbuh di kepala kita soal perbedaan. Konsep yang keras dan salah mungkin saja tumbuh di kepala kita. Dengan hati kita belajar menerima keyakinan dan sikap yang berbeda.
Reuni 212 berlangsung kondusif. Tidak ada bentrok. Tidak ada pasukan yang harus keluarkan gas air mata. Semua berlangsung damai.
Energy terlalu sayang untuk dikeluarkan untuk nyinyirin hal yang tak sama. Bangsa kita terlalu besar untuk mengecam pilihan yang berbeda.  Demi sebuah Pilpres semata.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H