Media kini menampilkan politik dengan warna berbeda. Berita politik yang semula berat dan membuat kening berkerut di masa lalu, sekarang tampil ringan dan menghibur. Sesekali menayangkan drama yang membuat sedih dan larut. Relasi antara media, politik dan citra politisi menjadi hal yang sulit dihindari.
Politisi kini mirip selebriti yang menjalani peran dan memanfaatkan media dengan baik (kebanyakan televisi dan media sosial). Ini dipakai sebagai bagian dari strategi. Kita tahu disisi lain, televisi tidak semata-mata berfungsi menyebarluaskan informasi dan pendidikan, tapi sebuah industri yang punya aspek bisnis. Media khususnya televisi menentukan apa yang penting dan tidak penting bagi publik (Griffin, 2012).
Beberapa televisi menghadirkan konsep televisi berita dalam programnya tapi dalam konsep ringan. Kita bisa melihat di banyak acara televisi seperti berita dan talkshow politik, sering terselip unsur drama dan hiburan, tidak hanya menyoal hal berat. Seriusnya kebijakan infrastruktur  ketika Presiden Joko Widodo meresmikan kereta api bandara Soekarno --Hatta  tertutupi oleh baju kasual, jeans dan sepatu kets merah hati yang dikenakannya (sedangkan para menteri memakai batik yang formal). Busana santai Presiden jadi perhatian dan berhari-hari dibincangkan ; bukan soal infrastruktur. Di mata rakyat Jokowi adalah presiden asyik, yang berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya.
Begitu juga ketika dia bertemu murid sekolah dan pesantren saat  membagikan Kartu Indonesia Pintar.  Perhatian orang selalu tertuju pada kuis-kuis bersubstansi kebinekaan Indonesia dan berhadiah sepeda. Sederhana, membuat happy, mengena di hati; begitu terekam di benak.  Masyarakat dan netizen menyukai hal-hal seperti itu; ringan, tidak berat.
Setelah Pilkadapun, media membuat suasana komunikasi politik setengah serius setengah menghibur, tapi tak jarang membuat efek dramatis berlebihan. Setelah Pilkada serentak 27 Juni lalu, banyak meme lucu soal pilkada di Jawa Barat dimana hasil dua paslon nyaris mendekati versi quick count. Meme itu memperolok satu paslon yang hasilnya lebih rendah tetapi pendukungnya keukeuh bahwa mereka menang. Komunikasi politik jadi serius tapi lebih cair.
Media dan politisi punya hubungan mutualisma. Politisi memerlukan media untuk menaikkan popularitas agar makin banyak orang mengenalnya dan mencoblos ketika pemilihan umum berlangsung. Â Orang jadi ingin tahu, apa hobi politisi, bagaimana dia semasa sekolah dulu, bagaimana hubungan dengan keluarganya ? Orang tidak lagi menempatkan visi dan program sebagai prioritas.Â
Selera itu kemudian ditangkap oleh media. Media lalu mengolah dengan menyatukan aspek politik dan hiburan ; membuatnya ringan, tidak berjarak dan tidak membosankan. Media menggunakan cara itu secara terus menerus,  membuat orang penasaran, dan umumnya  viral di media sosial.
 Politik diolah seperti entertainment ; menjadi politainment. Dengan politainment, politik jadi asyik karena alurnya menyuguhkan drama yang mengharu biru, dan hiburan yang membuat happy. Politainment  tak lagi berisi konsep yang substansif  dan rasional tapi bermanuver menjadi sesuatu yang empatif  dengan diksi-diksi sederhana ; membuat orang rela meluangkan waktu mengikuti berbagai kisah
Politik menjadi tidak hanya dinikmati di arena kampanye dengan panggung dan baliho megah, tapi bisa di rumah, ngopi di cafe atau saat membuka gawai ketika lalu lintas macet. Politik bagai rumah dengan halaman penuh bunga; sofa empuk, penuh canda dan olok-olok, dan tempat rehat yang homey.Â
Politainment mampu membuat politisi terdongkrak citranya dan bisa sebaliknya; membuatnya hancur lebur. Bila media menampilkan hal buruk, politik  menjadi  drama dengan klimaks  yang mengesalkan atau melegakan hati. Korupsi e-KTP yang menyangkut uang sangat banyak dan alirannya ke mana-mana, digambarkan dengan drama politisi licin yang menabrak tiang listrik, benjolan sebesar bakpao di kepala dan tak berdaya.
Televisi seperti paham suasana kebatinan masyarakat dengan menayangkannya berulang-ulang. Lalu, medsos menampilkan meme dengan gaya satire; sebuah tampilan drama yang membuat masyarakat menyuarakan katarsis emosi dengan nada marah, jengkel bahkan mengumpat. Akhirnya  lega, melihat politisi yang  sering berpura-pura sakit itu masuk bui dan diadili. Â
Pilkada
Banyak orang memperkirakan bahwa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 kalah seru dengan Pilkada Jakarta tahun 2017. Namun ternyata Pilkada tahun ini penuh kejutan, bahkan sebelum kontestasi dimulai. Penuh drama demi drama, menyedot perhatian publik.
Foto syur yang disinyalir menampikan bakal calon wakil gubernur Jawa Timur, Azwar Anas yang  beredar melalui media sosial menyentak banyak orang. Itu membuat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menitikkan air mata ketika Anas menyatakan mundur dari kontestasi. Seorang Hasto Kristiyanto juga berurai air mata. Bagaimanapun Anas adalah kepala daerah belia yang cemerlang.
Begitu juga mata jutaan publik melihat protes yang diajukan Partai Demokrat (SBY) untuk kontestasi Pilkada di Kalimantan Timur dan Lampung. Di Jawa Barat, orang menahan nafas melihat Ridwan Kamil yang punya popularitas di atas bakal calon lainnya, terpaksa harus berjuang mencari partai pendukung di saat-saat akhir.
Bagi Azwar Anas, Ridwan Kamil, SBY, Megawati dan partai-partai yang terlibat, itu semua adalah proses politik yang sama sekali tak mudah tapi harus mereka lampaui dengan baik. Penuh hitung-hitungan politik, takaran kapasitas dan kredibilitas, chemistry bahkan harga diri.
Tapi kemudian, televisi nasional dan media sosial menyamarkan step-step penting proses politik dengan  memunculkan politainment. Ini terbukti ketika Megawati yang curhat di sela-sela pengumuman pasangan bakal calon gubernur,  lantas dikomentari nyinyir oleh netizen dan ditampilkan televisi. Juga olok-olokan masyarakat pada SBY yang selalu merasa terzalimi. Begitu juga tayangan klarifikasi dari suami perempuan yang disinyalir sebagai pasangan Azwar Anas di foto syur. Televisi menampilkannya dan seperti memaksa kita menunggu klimaks drama-drama itu seperti kisah infotainment.Â
Drama dan hiburan bersusulan mewarnai proses politik yang berat. Â Politainment menjadi pusaran informasi menarik di negara penganut sistem politik terbuka atau demokrasi seperti Indonesia.
Meski menarik dan mendapat tempat di hati publik, politainment mereduksi banyak hal penting dan krusial dalam proses politik. Tidak hanya masalah program dan  data, tapi juga drama, mencampurkan gosip dan proses komunikasi itu sendiri. Seorang Azwar Anas paham hal ini dan memutuskan tidak melanjutkan kontestasi karena jika terus melaju, foto itu menjadi peluru ampuh meruntuhkan citra dan membawa keterpurukan kontestasinya.
Kini, mungkin tak usah anti menikmati berita Pilkada. Buka saja televisi, online atau media sosial; karena mereka sudah memilih dan mengolahnya menjadi politainment. Berita politik seberat apapun adalah show; bisa kita tonton dengan ringan.
 Jadi seperti kopi dan sofa empuk; nikmati saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI