Mohon tunggu...
erika avalokita
erika avalokita Mohon Tunggu... Freelancer - ibu rumah tangga

suka nulis dan silat

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kita dan Beban Media Massa

10 Juni 2018   10:58 Diperbarui: 11 Juni 2018   17:38 3390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar Tribunnews sebelum berita dihapus dan setelah

Kabar mengejutkan datang dari jaringan media internasional CNN pada Jumat (8/6/2018) yang mengabarkan bahwa chef AS terkenal, Anthony Bourdain tewas dengan cara bunuh diri di kamar hotel di Strasbourg, Prancis ketika syuting serial populernya Parts Unknown. Banyak media (dalam dan luar negeri) kemudian mengulas, termasuk media di Indonesia.

Tulisan ini tidak membahas Bourdain, tetapi pemberitaan yang menyertainya.

Di antara media-media itu, sebuah media online nasional menulis kematian dan kenangan soal Bourdain dengan banyak angle. Sejak kematian pada Jumat pagi itu setidaknya lebih dari 10 judul yang dibuat oleh media ini. Paling menarik adalah berita berjudul "Pernah Puji Suara Azan di Indonesia, Bule Amerika Tak Beragama Ini Ditemukan Tewas Bunuh Diri".

tangkapan layar Tribunnews sebelum berita dihapus dan setelah
tangkapan layar Tribunnews sebelum berita dihapus dan setelah

Foto Bourdain dan sebuah Masjid terpampang pada berita yang diluncurkan Jumat pukul 22.47 tersebut. Selang beberapa lama, berita itu ditarik (dihapus) oleh redaksi dengan beberapa pertimbangan redaksional.

Namun beberapa membaca sudah berhasil capture dan sepanjang Sabtu, media dari grup ternama itu di-bully oleh netizen. Netizen menilai berita itu less empathy. Beberapa di antaranya mengatakan bahwa penarikan berita itu terkesan tanpa beban seperti ketika menuliskannya.

Seorang penulis bahkan menuding itu sampah. Padahal, nyaris semua media di dunia dan nasional menuliskan Anthony Bourdain dengan elegan, termasuk Kompas online dan Harian Kompas.

Beberapa waktu sebelumnya, media yang menulis sekaligus menghapus berita Anthony di atas, dikritik oleh Remotivi untuk pemberitaan soal terorisme. Sayangnya media kita belum terbiasa dengan budaya menerima kritik seperti media-media di Inggris (media di Inggris sering saling mengkritik, bahkan kerap ofensif).

Sedangkan media kita tersebut menanggapi dengan defensif. Padahal tulisan itu lebih menekankan bagaimana mengajak pembaca untuk lebih kritis menerima konten.

Saat ini, lanskap komunikasi Indonesia yang berbasis konten dan teknologi bergerak dinamis tapi makin membingungkan pembaca. Media tidak selalu mengindahkan kode etik jurnalistik dan hati nurani. Banyak konten mengalir cepat tapi tidak akurat, kadang dengan konteks yang tidak tepat, Fenomena ini terjadi terutama di medsos serta media online, sehingga membuat masyarakat alami disorientasi informasi.

Jika berita itu dalam format medsos dan dibuat oleh no one, mungkin kita bisa maklum. Tapi jika oleh media online mainstream dari grup besar yang punya gatekeeper untuk menyeleksi informasi, layak disayangkan. Meski berfungsi dengan baik (berita dihapus), tetapi sempat terciptanya berita semacam itu tetap menyisakan banyak ganjalan. Sesungguhnya ada apa dengan media massa kita sekarang?

Media kita punya banyak beban
Meski berada di luar sistem politik formal, pada masa demokrasi media massa dipercaya menjadi pilar keempat yang berfungsi memberi pendidikan kepada publik sekaligus alat kontrol sosial.

Media massa (termasuk media online) yang dibangun dengan prinsip good journalism punya mekanisme yang baik dan teruji dalam memberitakan sesuatu. Mereka punya standar kerja yang mengacu pada UU Pers no 40 tahun 1999 dan Etika Jurnalistik, yaitu berbasis fakta, obyektif, akurat, cover both side, tidak menyesatkan, memikirkan dampak serta punya visi kebangsaan.

Good journalism biasanya berusaha memberi peta besar; mendudukan persoalan, kritis tapi solutif. Tidak seperti medsos yang sembarang "teriak" dan menulis "ini sekadar share", tanpa peduli sumber berita dan dampak konten.

Contoh jelas adalah ketika medsos memperlihatkan gambar lereng Gunung Agung yang terbakar dan berkonten sudah meletus padahal belum. Media massa tidak segampang itu memberitakan.

Kita harus paham bahwa media massa punya persoalan agar tetap hidup, terutama karena perkembangan teknologi yang mengubah pola konsumsi informasi masyarakat. Persaingan ketat terjadi.

Dewan Pers mencatat, tahun ini ada 1750 media online di seluruh Indonesia dan sekitar 150-200 media yang sudah ter-verifikasi. Tidak semua pengelola bisa menyiasati duopoly Google dan Facebook . Mereka harus paham kata kunci yang sedang tren dan bagaimana memainkan judul untuk mendapat klik sebanyak-banyaknya. Media online ini hidup di antara clickbait, page split (paging), traffic, bounce rate dll.

Masyarakat juga harus tahu bahwa media selalu berusaha dan tak henti-hentinya belajar keras bagamana mendapatkan uang melalui iklan yang berbeda dengan konsep iklan masa lalu. Mereka adalah perusahaan yang tak pernah tidur untuk tetap melayani pembaca dengan gratis, tapi juga harus menghidupi diri sendiri.

Prestasi yang dimiliki oleh media yang membuat berita "Bule Tak Beragama ..." itu sebenarnya cukup baik. Dia meraih peringkat Alexa 261 ( dunia) dan 8 ( nasional). Traffic-nya tinggi yaitu 186 juta per bulan, artinya 6,2 juta traffic perhari. Dengan traffic itu dan berdasar skema CPM = $ 0.1 atau 1.400 per 1000 x iklan tayang, maka dia bisa mendapatkan pemasukan sekitar Rp 8,68 juta perhari, belum termasuk campaign CPD. Tapi ternyata traffic tinggi tidak menjamin konten juga terjaga dengan baik.

Jika tak bisa menyelesaikan semua beban itu dengan baik, banyak media massa kadang mengambil atau memilih langkah tragis yaitu membuat berita yang memihak pihak tertentu, sensasional,mati-matian membela pemilik modal, menggenjot viewers dengan cara tertentu sehingga pemasang iklan hitam tergoda. Cara itu seringkali membuat media lupa pada prinsip good journalism, mereka mulai kehilangan mutu dan independensinya sehingga melahirkan hoaks. Masyarakat memperparah dengan membagikannya ke medsos. Polarisasi pun tak terelakkan.

Sampai di sini, penting bagi masyarakat untuk sadar bahwa konten berkualitas, bukanlah barang gratisan; butuh ongkos yang tidak sedikit, bahkan besar. Jadi, mewujudkan good journalism sama sekali tidak murah dan asal jadi.

Beberapa negara termasuk Amerika Serikat punya masalah dengan polarisasi masyarakat karena media massa dan medsos. Hoaks tinggi dan informasi tanpa gatekeeper membanjiri medsos. Banyak masyarakat AS yakin bahwa berita palsu telah ikut memengaruhi hasil pilpres yang dimenangkan Trump. Fenomena itu membuat mereka mulai mempertimbangkan media massa yang kredibel untuk memperoleh informasi.

Columbia Journalism Review mencatat bahwa pasca Pilpres Amerika, ada peningkatan pelanggan cukup besar untuk harian The New York Times dan The Washington Post. Dua media konvensional itu dipilih masyarakat dibanding media online seperti Buzz Feed yang gratis (Forbes 01/02/2017). Artinya, di tengah surplus informasi, masyarakat AS mencari media yang menurut mereka bekerja dengan prinsip good journalism.

Mungkin naif membandingkan AS dengan Indonesia karena penetrasi pendidikan dan kultur yang berbeda. Namun fenomena di AS itu mungkin bisa menginspirasi pemerintah Indonesia untuk segera mengedukasi media massa dan masyarakat tentang good journalism.

Pemerintah harus bisa menyakinkan media massa bahwa membangun "pondasi menara kuat", bukan sekadar "menara pasir" adalah hal mendesak dan penting. Meski sulit, media massa harus tetap bekerja dengan berpedoman pada prinsip jurnalistik dengan baik. Karena dengan begitu, masyarakat makin terlatih mendapatkan informasi yang benar; tidak mudah tertipu informasi palsu, tidak mudah terprovokasi dan diadu domba.

Tulisan Elegan KompasCetak 10/6/2018 hal 15
Tulisan Elegan KompasCetak 10/6/2018 hal 15
Alternatif solusi
Karena itu untuk mewujudkan atmosfer informasi Indonesia yang sehat, marilah saling menghargai media massa, pemerintah dan masyarakat.

Pertama, konten adalah yang terutama. Media massa harus membuat konten sesuai etika jurnalistik dan cepat membereskan masalah-masalah teknis internalnya. Yakinlah pada suatu titik, masyarakat akan mencari media yang memberi informasi yang sehat. Tak akan ada lagi badnews is goodnews. Yang ada adalah goodnews is goodnews, badnews is badnews.

Kedua, pemerintah harus memperkuat dukungan kepada media sebagai pilar keempat demokrasi dengan membantu regulasi --bahkan mungkin proteksi-- agar beban media lebih ringan.

Ketiga, masyarakat harus berlatih memilih informasi serta belajar memahami proses yang dilakukan media massa dan pemerintah. Skeptislah menerima informasi, jangan mau menikmati informasi sampah.

Lanskap komunikasi kita terlalu kacau jika tidak berbenah mulai sekarang. Kita berharap atmosfer informasi Indonesia membaik. Media massa Indonesia, baik nasional maupun lokal mungkin tertatih dalam mewujudkan good journalism, tapi bukan berarti tak mungkin melampauinya.

Salam sehat informasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun