Mohon tunggu...
erika avalokita
erika avalokita Mohon Tunggu... Freelancer - ibu rumah tangga

suka nulis dan silat

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kita dan Beban Media Massa

10 Juni 2018   10:58 Diperbarui: 11 Juni 2018   17:38 3390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media massa (termasuk media online) yang dibangun dengan prinsip good journalism punya mekanisme yang baik dan teruji dalam memberitakan sesuatu. Mereka punya standar kerja yang mengacu pada UU Pers no 40 tahun 1999 dan Etika Jurnalistik, yaitu berbasis fakta, obyektif, akurat, cover both side, tidak menyesatkan, memikirkan dampak serta punya visi kebangsaan.

Good journalism biasanya berusaha memberi peta besar; mendudukan persoalan, kritis tapi solutif. Tidak seperti medsos yang sembarang "teriak" dan menulis "ini sekadar share", tanpa peduli sumber berita dan dampak konten.

Contoh jelas adalah ketika medsos memperlihatkan gambar lereng Gunung Agung yang terbakar dan berkonten sudah meletus padahal belum. Media massa tidak segampang itu memberitakan.

Kita harus paham bahwa media massa punya persoalan agar tetap hidup, terutama karena perkembangan teknologi yang mengubah pola konsumsi informasi masyarakat. Persaingan ketat terjadi.

Dewan Pers mencatat, tahun ini ada 1750 media online di seluruh Indonesia dan sekitar 150-200 media yang sudah ter-verifikasi. Tidak semua pengelola bisa menyiasati duopoly Google dan Facebook . Mereka harus paham kata kunci yang sedang tren dan bagaimana memainkan judul untuk mendapat klik sebanyak-banyaknya. Media online ini hidup di antara clickbait, page split (paging), traffic, bounce rate dll.

Masyarakat juga harus tahu bahwa media selalu berusaha dan tak henti-hentinya belajar keras bagamana mendapatkan uang melalui iklan yang berbeda dengan konsep iklan masa lalu. Mereka adalah perusahaan yang tak pernah tidur untuk tetap melayani pembaca dengan gratis, tapi juga harus menghidupi diri sendiri.

Prestasi yang dimiliki oleh media yang membuat berita "Bule Tak Beragama ..." itu sebenarnya cukup baik. Dia meraih peringkat Alexa 261 ( dunia) dan 8 ( nasional). Traffic-nya tinggi yaitu 186 juta per bulan, artinya 6,2 juta traffic perhari. Dengan traffic itu dan berdasar skema CPM = $ 0.1 atau 1.400 per 1000 x iklan tayang, maka dia bisa mendapatkan pemasukan sekitar Rp 8,68 juta perhari, belum termasuk campaign CPD. Tapi ternyata traffic tinggi tidak menjamin konten juga terjaga dengan baik.

Jika tak bisa menyelesaikan semua beban itu dengan baik, banyak media massa kadang mengambil atau memilih langkah tragis yaitu membuat berita yang memihak pihak tertentu, sensasional,mati-matian membela pemilik modal, menggenjot viewers dengan cara tertentu sehingga pemasang iklan hitam tergoda. Cara itu seringkali membuat media lupa pada prinsip good journalism, mereka mulai kehilangan mutu dan independensinya sehingga melahirkan hoaks. Masyarakat memperparah dengan membagikannya ke medsos. Polarisasi pun tak terelakkan.

Sampai di sini, penting bagi masyarakat untuk sadar bahwa konten berkualitas, bukanlah barang gratisan; butuh ongkos yang tidak sedikit, bahkan besar. Jadi, mewujudkan good journalism sama sekali tidak murah dan asal jadi.

Beberapa negara termasuk Amerika Serikat punya masalah dengan polarisasi masyarakat karena media massa dan medsos. Hoaks tinggi dan informasi tanpa gatekeeper membanjiri medsos. Banyak masyarakat AS yakin bahwa berita palsu telah ikut memengaruhi hasil pilpres yang dimenangkan Trump. Fenomena itu membuat mereka mulai mempertimbangkan media massa yang kredibel untuk memperoleh informasi.

Columbia Journalism Review mencatat bahwa pasca Pilpres Amerika, ada peningkatan pelanggan cukup besar untuk harian The New York Times dan The Washington Post. Dua media konvensional itu dipilih masyarakat dibanding media online seperti Buzz Feed yang gratis (Forbes 01/02/2017). Artinya, di tengah surplus informasi, masyarakat AS mencari media yang menurut mereka bekerja dengan prinsip good journalism.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun