Mohon tunggu...
erika avalokita
erika avalokita Mohon Tunggu... Freelancer - ibu rumah tangga

suka nulis dan silat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta Sudah Lelah, Pak!

25 Mei 2017   12:47 Diperbarui: 25 Mei 2017   16:58 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Ketika bom meledak di Kampung Melayu, saya sedang di kawasan Kuningan akan ke Ciranjang, berjibaku dengan macet. Sepulang Ciranjang, semua info bom sudah di hp.

Kenapa kampung melayu ?
 Kenapa kampung melayu ?
 Kenapa ?
ujar saya dalam hati ketika pulang.  Pk 23.00.

 Bagi saya, bom di trans jakarta dan menewaskan polisi adalah dejavu atas bom sarinah, bom solo dan bom bom lain dengan target polisi. Tahun ini adalah tahun kedua kebangkitan teror bom Indonesia. Bom sempat mati suri sekitar tahun 2011 – 2015. Sebelumnya, sejak 2000an, Indonesia berpuluh kali alami teror bom sampai 2010. Banyak pelaku di penjara, Santoso sudah mati, tapi bom masih tetap saja ada.

 Sel kecil, simbolik, bom bunuh diri, bom panci, jihad, ISIS adalah rangkaian analisis yang banyak ditulis orang termasuk saya. Malam itu saya bosan memikirkan segala macam analisa. Capek.

Kenapa Kampung Melayu ? Kenapa kau pilih Kampung Melayu ? Kenapa ?

Selama berbulan-bulan, di tivi dan online, saya dan jutaan orang Jakarta dan seluruh Indonesia seperti terpaksa harus menonton tokoh negara dan agama yang bersikap dan berbicara jauh panggang dari api. Bicara berapi-api seperti peri suci. Ada juga pejabat yang ingin populer dan ingin merebut hati rakyat dengan berkeliling ke universitas-universitas dengan membaca puisi. Padahal kita tahu hatinya tidak tulus, pikirannya kotor.

Belum lagi para koruptor yang dihukum ringan dan anak-anak yang punya dendam yang tak semestinya terhadap pihak lain, karena lingkungannya menggemakan kebencian. Sekelompok pengusaha yang serakah, mengambil keuntungan sebanyak dia bisa. Kapal keruk. Banyak wakil rakyat yang ternyata tidak amanah tapi selalu terpilih karena dia berani membayar suara yang dia raup.

Sementara di sisi lain, kita lihat Presiden pontang panting sendiri membenahi negara. Segelintir pihak peduli  dan menyuarakan kebenarangan dan tulus membangun negara dan bekerja keras. Negeri Ironi, kata sastrawan. Negara yang kaya tapi miskin.

Kenapa Kampung Melayu ? Kenapa ?

Suatu siang saya mencuci kendaraan. Depan tempat pencucian itu ada tukang tambal ban yang sekaligus jual minuman dingin. Saya duduk menunggu mobil dicuci sambil minta teh botol. Namanya pak Samad.

Sehari dapat berapa pak ?saya

Gak tentu buk, kadang 75   kadang 100 kadang 150-250. Tapi banyakan di bawah 100 sampai 100.Pak Samad

Ya Lumayan pak

Ah kata siapa lumayan Buk. Anak saya tiga, mau besar-besar, kebutuhan banyak. 75 ribu sehari itu ngos-ngosan.  Makan, transpor, uang jajan .Seperti sekarang ini, pusing. Dua orang lulus sekolah. Makan di luar juga mahal bu sekarang. 15 ribu sekali makan. Biasanya saya bawa makan dari rumah, bisa untuk dua kali makan. Kalau makan di luar, malamnya saya harus puasa karena gak cukup.

Saya paham. Jakarta dengan rupiah segitu dengan tiga anak, pas banget. Gak bisa napas. Padahal saya sering melihat middle class yang makan berdua saja abis 500 ribu. Duit segitu bagi keluarga bapak ini cukup untuk lima hari.

Indeks gini kita 0,4 (Koefisian gini adalah tingkat ketimpangan  pendapatan secara menyeluruh. Rentangnya 0-1. Indeks gini 0 artinya pendapatan merata. Indeks 1 artinya kaya miskin timpang sekali). Angka 0,4 menunjukkan ketimpangan yang masih jauh.  Bom ini mungkin akan berpengaruh nanti pada indeks saham. Kemudian investor bilang, Indonesia tidak kondusif untuk investasi, banyak bom, tidak aman. Trus inflasi. Harga barang melonjak, perut rakyat seperti pak Samad melilit.

Trus lawan politik menuding-nuding pemerintah tidak becus, nuntut pimpinan diganti. Sementara di sana, banyak kroni-kroni yang mengemplang pajak, birokrat yang menerima suap dan segudang pikiran hitam lainnya. Duitnya dia taruh di Singapura dan beberapa negara. Itu kaum yang harga makan siangnya  2- 10 kali pendapatan harian pak Samad.

Ketika bangun, saya masih bertanya; Kenapa Kampung Melayu ?

Kampung Melayu adalah perlintasan penting di Jakarta Timur. Kantong masyarakat urban. Ada kaum menengah di sekitar Otista dan Matraman, juga kaum urban yang berjuang untuk sesuap nasi. Tempat orang dari Jakarta yang akan ke Bekasi, Cibubur, Cawang dan daerah lain ke selatan.

Polisi yang terbunuh adalah pemuda, tempat keluarga menggantungkan harapannya. Juga korban-korban lainnya.  Jika misalnya, pak Samad ada di tkp dan terbunuh karena bom itu, bagaimana anak-anaknya ? Untuk apa membunuh orang yang sedang berjjihad untuk  keluarganya ? Untuk apa merebut paksa hak hidup dan kebahagian orang lain sih ? Kenapa coba ? Kenapa ?

Pilkada yang sudah lewat. Yang diingini sebagian orang akan memimpin daerah ini. Yang mereka sebelin sudah masuk penjara, mau apa lagi sih ? Mau bentur-benturan rakyat dan ngacoin negara dengan membunuh polisi ? Untuk apa ?

Saya cape melihat analisa-analisa bom, pilkada dan elit yang berantem. Saya yakin sebagian penduduk Jakarta juga lelah. Pingin yang aman-aman saja. Pingin berjuang untuk keluarga, agar sejahtera dan bahagia. Pajak yang kita bayar bisa teralokasi dengan benar. Birokrat tidak korupsi; pengusaha tidak memikirkan perutnya saja.

Seperti pak Samad, kita semua cuma butuh makan 3 kali sehari saja; Jangan angkara dan serakah. Sungguh, rakyat sudah lelah !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun