Mohon tunggu...
erika avalokita
erika avalokita Mohon Tunggu... Freelancer - ibu rumah tangga

suka nulis dan silat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mei, Aksi Lilin dan Suara dalam Diam

12 Mei 2017   22:51 Diperbarui: 13 Mei 2017   06:07 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlakuan kepada Ahok, kaum minoritas semakin meyakini bahwa sehebat, sebersih apapun, seprestasi bagaimanapun; hanya karena berbeda keyakinan dan warna kulit, mereka tak mendapatkan hak yang seharusnya mereka peroleh. Mereka jadi apatis. Bisa jadi terekam di kepala anak-anak mereka yang saat ini masih dibawah umur. Mereka makin sadar bahwa, bagaimanapun, menjadi minoritas sangat tidak enak.

Atas kesedihan itu, mereka menggelar aksi lilin yang semula di Jakarta, kemudian merembet di seluruh tanah air, bahkan diadakan pula oleh diaspora Indonesia di seluruh dunia. Bagi kaum minoritas, aksi  dianggap langkah lebih maju daripada diam, menerima dan berdoa meminta Tuhan membukakan mata kaum mayoritas yang menzalimi mereka. Aksi lilin adalah “suara” mereka yang  berkumandang dalam  diam.

Atas nama luka ini, sebagian hasil Reformasi  tahun 1998 mungkin jadi tidak berarti;  tak mengubah apapun. Pahlawan  Reformasi yang sudah hilang dan tewas mungkin jadi kehilangan maknanya. Demokrasi Indonesia yang semula dianggap dewasa mungkin harus direview kembali. Beberapa langkah bangsa kita sudah mundur; belum naik kelas.

Bagaimanapun, sekali waktu,  mayoritas  harus mencoba melihat dari sisi warga Indonesia keturunan Cina. Bukan masalah hati yang belum move on atas kekalahan pilkada Jakarta. Aksi lilin bukan sekadar soal Ahok, tapi soal luka hati jutaan orang yang dilahirkan seperti Ahok.  Menjadi Cina tanpa bisa memilih dilahirkan dari siapa.  

Tolong, bantu membuat luka itu mengering, bukan menambah parah.  Lilin itu, adalah suara mereka;  bukan untuk dilihat tapi juga didengar dan rasakan  sedih mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun