Perlakuan kepada Ahok, kaum minoritas semakin meyakini bahwa sehebat, sebersih apapun, seprestasi bagaimanapun; hanya karena berbeda keyakinan dan warna kulit, mereka tak mendapatkan hak yang seharusnya mereka peroleh. Mereka jadi apatis. Bisa jadi terekam di kepala anak-anak mereka yang saat ini masih dibawah umur. Mereka makin sadar bahwa, bagaimanapun, menjadi minoritas sangat tidak enak.
Atas kesedihan itu, mereka menggelar aksi lilin yang semula di Jakarta, kemudian merembet di seluruh tanah air, bahkan diadakan pula oleh diaspora Indonesia di seluruh dunia. Bagi kaum minoritas, aksi dianggap langkah lebih maju daripada diam, menerima dan berdoa meminta Tuhan membukakan mata kaum mayoritas yang menzalimi mereka. Aksi lilin adalah “suara” mereka yang berkumandang dalam diam.
Atas nama luka ini, sebagian hasil Reformasi tahun 1998 mungkin jadi tidak berarti; tak mengubah apapun. Pahlawan Reformasi yang sudah hilang dan tewas mungkin jadi kehilangan maknanya. Demokrasi Indonesia yang semula dianggap dewasa mungkin harus direview kembali. Beberapa langkah bangsa kita sudah mundur; belum naik kelas.
Bagaimanapun, sekali waktu, mayoritas harus mencoba melihat dari sisi warga Indonesia keturunan Cina. Bukan masalah hati yang belum move on atas kekalahan pilkada Jakarta. Aksi lilin bukan sekadar soal Ahok, tapi soal luka hati jutaan orang yang dilahirkan seperti Ahok. Menjadi Cina tanpa bisa memilih dilahirkan dari siapa.
Tolong, bantu membuat luka itu mengering, bukan menambah parah. Lilin itu, adalah suara mereka; bukan untuk dilihat tapi juga didengar dan rasakan sedih mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H