Mohon tunggu...
Erika Aurelia
Erika Aurelia Mohon Tunggu... Ilustrator - Pelajar Seumur Hidup

Bukan pencinta alam karena takut mendaki gunung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Indonesia Tidak Belajar dari Bencana Alam meskipun Ada Pandemi sekalipun

26 Januari 2021   12:55 Diperbarui: 7 Maret 2021   21:47 1044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini juga pernah diunggah dalam Pojok Opini pada laman resmi Opini.id dengan judul 'Indonesia Gak Belajar dari Bencana Alam Walau Pandemi Sekalipun' pada tanggal 22 Januari 2020.

Tanpa perlu adanya kehadiran peramal yang mencoba meraup untung dan ketenaran sensasi pada saat tebakan mereka benar, kita sudah tahu bahwa setiap penghujung maupun awal tahun selalu ada bencana, terutama yang berkaitan dengan curah hujan yang tinggi.  Entah banjir, longsor, angin ribut, atau ombak besar.  

Demikian pula dengan kemarau panjang di tengah tahun yang menyebabkan kekeringan dan karhutla. Belum lagi negara kita juga dikelilingi oleh cincin api yang menjadikan negara ini rawan gempa dan banyak gunung vulkanik.  Tapi anehnya, masyarakat lebih cenderung mendewakan para peramal yang jarang menaruh titik lokasi yang tepat dimana bencana tersebut akan terjadi dan mengabaikan prediksi-prediksi nyata dari para ilmuwan yang sudah memberikan hipotesis dan diskusi yang lengkap.  Tidak sedikit yang mengatakan “Hanya Tuhan yang tahu!”, atau “Itu rahasia alam!”, tetapi giliran peramal malah dibilang “Mbah XX jago banget!”.

Anehnya lagi, pada saat bencana itu terjadi, gak jarang para media menjual kesedihan para korban.  Dari kehilangan rumah, korban yang ditinggalkan, ataupun rekaman pada saat kejadian yang hanya meningkatkan kecemasan dan penasaran kepada penonton.  Entah mungkin media berbuat demikian supaya menarik simpati masyarakat agar mau menyumbangkan dana kedalam rekening mereka atau mereka ingin meningkatkan rating saja.  

Namun, sangatlah sedikit media yang memberitakan tuaian kecaman dari berbagai kalangan masyarakat.  Daripada mereka mendengar dari sisi aktivis maupun peneliti, mereka lebih tertarik mendengar dari sisi para politikus dan selebriti yang jelas-jelas hanya memanaskan situasi.  

Mereka juga memberitakan minim informasi yang bisa membantu korban, ataupun pencegahan supaya bencana ini tidak terjadi lagi dikedepannya. Padahal topik ini sangatlah krusial agar kedepannya masyarakat dan pemerintah bisa bergotong-royong supaya bisa mengantisipasi bencana alam yang musiman ini.

Memang bencana alam tidak bisa dihindarkan tapi bisa diantisipasi, dan tidak seharusnya kita menyalahkan alam karena pasti ada sebab dan akibat mengapa hal itu terjadi.  Contohnya saja, sudah jauh-jauh hari diperingatkan, diprediksi bahwa gak akan lama daerah pemukiman akan banjir karena tidak ada resapan jika hutan gundul habis di babat buat kelapa sawit dan pertambangan, malah pemerintah melonggarkan para perusahaan memperbolehkan mereka untuk memperluas lahannya dengan UU terkini.  

Adapula contoh yang lain, sudah tahu Indonesia rawan gempa, mentang-mentang belum gempa, dana penanggulangan gempa dikorupsi, alat pendeteksi tsunami sering dicuri.  Jadi, wajar pada ketika kita menghadapi bencana, kita kembali buyar dan membuang lagi anggaran yang banyak daripada dinvestasikan untuk diantisipasi.  

Bahkan pada saat setelah bencanapun, para pemimpinpun masih bisa mencari muka, dana bantuanpun diambil demi kepentingan pribadi, sembakopun dicuri, dan para pihakpun saling menyalahkan satu sama lain berandai-andai jika Indonesia memiliki negara nyaman tanpa bencana.  Padahal kita semua ini pijak dikaki yang sama dan kita juga adalah penyebabnya, hanya saja kali ini bukan kita yang terkena imbasnya melainkan saudara kita karena perbuatan kita.

Sekarang semua bencana alam ini sudah lengkap terjadi, lalu apa yang harus kita lakukan? Nyatanya Indonesia butuh aksi bukan reaksi.  Berkoar-koar sosial media tidak lah cukup, menaruh tagar #PrayforIndonesia tanpa aksi konkrit hanyalah perbuatan yang sia-sia.  Apalagi dimasa pandemi ini dimana orang secara langsung terdampak finansialnya dan mentalnya.  

Mereka tidak menerima simpati dari kita semua melainkan aksi langsung nyata kita. Daripada berlarut-larut memikirkan korban, kita juga harus memikirkan calon korban selanjutnya dari aksi yang kita lakukan secara tidak langsung.  Ini seperti bom waktu, hal ini akan terus terulang kembali jika kita bersama tidak bisa menjinakkan bom tersebut. 

Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dan para perusahaan itu, kita juga harus bercermin pada diri sendiri.  Tanpa disadari, kita adalah para konsumennya dan kita juga yang membeli saham perusahaan pertambangan dan kelapa sawit sehingga mereka bisa terus berjaya merampas hak saudara kita.  

Belum lagi kita juga yang tinggal di negara ini, menambah keturunan di negara ini yang meluaskan lahan sana sini. Memang, bencana alam tidak bisa dihindarkan dan bukanlah siapa-siapa yang harus disalahkan. Tetapi jika kita mau untuk mengantisipasi bersama, memberikan edukasi penting sekalipun, atau memperbaiki alam sekecil apapun, bencana alam bisa dijadikan berkah bagi kita semua. Air hujan bisa menjadi air tanah, abu vulkanik bisa menjadi lahan yang gembur.  Semoga kita kedepannya benar sadar apa yang kita kontribusikan di bumi pertiwi ini bisa sangat berdampak besar bagi saudara kita. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun