Wacana tentang memasukkan serangga seperti belalang dan ulat sagu sebagai menu dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengusulkan ide ini sebagai alternatif sumber protein di beberapa daerah yang memang sudah terbiasa mengonsumsinya. Namun, seperti yang bisa diduga, usulan ini memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat, bahkan menjadi sorotan di parlemen.
Pertanyaannya, apakah ide ini benar-benar realistis, khususnya untuk memenuhi kebutuhan gizi anak-anak yang terkenal sangat selektif soal rasa dan tekstur makanan?
Secara objektif, serangga memang memiliki kandungan gizi yang luar biasa. Belalang, misalnya, kaya akan protein, zat besi, dan asam amino esensial. Ulat sagu juga mengandung lemak sehat yang baik untuk pertumbuhan anak-anak. Dari perspektif ketahanan pangan, serangga mudah dibudidayakan, ramah lingkungan, dan memerlukan sumber daya yang lebih sedikit dibandingkan dengan peternakan konvensional.
Di beberapa budaya, seperti di Papua dan sebagian wilayah Asia Tenggara, mengonsumsi serangga bukanlah hal baru. Bahkan di negara-negara Barat, tren edible insects mulai berkembang seiring meningkatnya kesadaran akan sustainability. Namun, konteks budaya adalah kunci, dan di sinilah tantangan terbesar wacana ini.
Masalah utama bukan sekadar kandungan gizinya, melainkan bagaimana serangga diterima secara psikologis, khususnya oleh anak-anak. Kita berbicara tentang kelompok usia yang bahkan bisa menolak makan ayam atau ikan hanya karena tampilannya yang "kurang menarik" atau teksturnya yang tidak sesuai dengan preferensi mereka. Bayangkan bagaimana reaksi mereka ketika disuguhi ulat sagu atau belalang utuh di piring makan siang mereka.
Anak-anak memiliki kecenderungan memilih makanan berdasarkan tampilan, aroma, dan rasa. Jika ayam goreng saja bisa ditolak karena terlalu kering atau kurang renyah, apalagi serangga yang secara visual jauh dari apa yang mereka anggap "normal." Tantangan ini bukan hanya soal edukasi gizi, tetapi juga mengatasi hambatan psikologis yang kuat terkait persepsi makanan.
Sejumlah anggota DPR menilai bahwa BGN sebaiknya lebih fokus pada edukasi tentang gizi seimbang daripada menciptakan perdebatan kontroversial dengan memasukkan serangga dalam menu MBG. Pernyataan ini memiliki dasar yang kuat. Edukasi gizi seharusnya diarahkan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya asupan protein, serat, vitamin, dan mineral dari sumber yang lebih familiar terlebih dahulu.
Mengajarkan anak-anak untuk mencintai sayuran, mengonsumsi ikan, dan memilih karbohidrat kompleks saja masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Program MBG seharusnya berfokus pada peningkatan kualitas pengolahan bahan makanan yang sudah diterima secara budaya, bukan memaksakan sumber protein baru yang membutuhkan waktu panjang untuk diterima.
Apakah Serangga Tidak Mungkin diterima?
Bukan berarti ide ini sepenuhnya buruk atau tidak mungkin diterapkan. Kuncinya terletak pada pengolahan dan presentasi. Beberapa negara berhasil mengintegrasikan serangga dalam bentuk olahan yang tidak lagi menyerupai wujud aslinya, seperti tepung protein serangga yang dicampurkan ke dalam roti, biskuit, atau bahkan nugget.
Jika BGN ingin serius mengembangkan ide ini, pendekatan seperti itu jauh lebih realistis. Alih-alih menyajikan ulat sagu utuh, mengapa tidak mengolahnya menjadi bakso atau nugget yang secara visual dan tekstur lebih mudah diterima? Edukasi gizi pun bisa diarahkan untuk mengubah persepsi secara perlahan, dimulai dari generasi muda yang lebih terbuka terhadap inovasi makanan.
Wacana memasukkan serangga sebagai menu dalam program MBG bukanlah ide yang sepenuhnya keliru. Dari segi gizi dan ketahanan pangan, serangga memiliki potensi yang besar. Namun, penerapan ide ini harus mempertimbangkan aspek psikologis, budaya, dan selera anak-anak yang cenderung selektif.
Alih-alih menjadi perdebatan kontroversial, wacana ini bisa menjadi peluang untuk mendorong inovasi dalam industri pengolahan makanan di Indonesia. Dengan pendekatan yang tepat, siapa tahu di masa depan, serangga olahan bisa menjadi bagian dari pola makan sehat yang diterima masyarakat luas, tanpa harus membuat anak-anak trauma melihat isi piring mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI