Pernah nggak sih, kamu ngerasa hidup kamu penuh drama sampai rasanya kamu nge label diri kamu sendiri sebagai manusia gagal? Kayak semua orang di sekelilingmu udah jauh melesat dengan pencapaian-pencapaian mereka, sementara kamu masih stuck di tempat yang sama. Semua usaha terasa sia-sia, masalah datang bertubi-tubi, dan bahkan hidup rasanya seperti nggak pernah berpihak baik diposisimu.
Kalau kamu pernah atau bahkan sering merasakan itu, kamu nggak sendirian. Banyak dari kita, terutama generasi milenial dan Gen Z, hidup di tengah tekanan sosial yang besar. Media sosial memamerkan pencapaian orang lain setiap detiknya, lingkungan masyarakat menuntut kesuksesan yang instan, dan kadang kita lupa bahwa menjadi "cukup" itu sudah lebih dari cukup.
Hidup Bukan Perlombaan, Tapi Kenapa Rasanya Seperti Itu ya?
Salah satu akar dari perasaan gagal adalah kebiasaan kita yang secara nggak sadar menjadikan hidup sebagai perlombaan. Kita mengukur kebahagiaan dan keberhasilan berdasarkan standar orang lain: pekerjaan bergaji besar, gelar akademik, rumah mewah, atau jumlah likes di Instagram. Padahal, setiap orang punya jalannya masing-masing, punya waktu yang berbeda untuk sampai di tujuannya.
Tapi, emang nggak gampang untuk mengingat itu, ya? Apalagi kita tinggal di lingkungan yang seringkali terobsesi dengan pencitraan. Manusia berlomba-lomba mendapatkan validasi dan pengakuan, entah itu dari status sosial, kekayaan, atau bahkan penampilan fisik. Sebagai akibatnya, yang nggak punya “privilege” jadi sering merasa nggak cukup baik atau gagal hanya karena nggak memenuhi standar yang sebenarnya nggak pernah mereka buat sendiri.
Suka atau nggak, privilege itu nyata. Ada orang yang lahir dengan lebih banyak kesempatan, entah itu karena status ekonomi, warna kulit, atau pendidikan sementara yang lain harus berjuang mati-matian hanya untuk mendapatkan setengah dari apa yang orang-orang ini miliki. Tapi, yang sering kita lupa adalah bahwa privilege itu bukan sesuatu yang harus kita benci, melainkan sesuatu yang harus kita sadari dan kelola.
Kita nggak bisa terus-terusan membandingkan diri kita dengan mereka yang punya lebih banyak sumber daya, karena itu hanya akan menjebak kita dalam lingkaran rasa rendah diri yang nggak ada habisnya. Sebaliknya, kita harus belajar fokus pada apa yang bisa kita lakukan dengan apa yang kita miliki sekarang. Kecil atau besar, setiap langkah maju adalah pencapaian.
Jebakan Pikiran "Aku Manusia Gagal"
Pernah dengar istilah self-fulfilling prophecy? Ini adalah konsep psikologi yang menjelaskan bahwa apa yang kita pikirkan tentang diri kita cenderung jadi kenyataan. Kalau kita terus-menerus bilang ke diri sendiri, "Aku gagal," "Aku nggak berguna," atau "Aku nggak akan pernah bisa sukses," maka otak kita akan bekerja sesuai dengan kepercayaan itu.
Tapi, kebalikannya juga berlaku. Ketika kita mencoba memberi ruang untuk afirmasi positif—kayak bilang, "Aku bisa belajar dari kegagalan ini," atau "Aku belum sampai di tujuan, tapi aku sedang dalam perjalanan,"—pikiran kita akan mulai melihat peluang, bukan hambatan.
Ini klise, tapi memang benar: perjalanan hidup setiap orang itu berbeda. Ada orang yang kelihatannya sukses di usia 25, tapi di usia 40 merasa kehilangan arah. Ada juga yang baru menemukan passion-nya setelah pensiun. Kita sering lupa bahwa waktu yang “terlambat” menurut standar masyarakat belum tentu salah untuk kita.