Kadang kita sering menghadapi momen di mana nama baik atau citra diri kita dipertanyakan, bukan karena kesalahan langsung yang kita buat, melainkan karena persepsi orang lain yang belum tentu benar. Hal ini kerap membuat kita bertanya-tanya: Mengapa begitu mudah bagi orang untuk menilai tanpa mengenal kita sepenuhnya? Lebih parah lagi, kadang penilaian itu datang dari cerita yang bahkan tidak pernah kita alami langsung.
Sebagai manusia, kita memiliki kecenderungan untuk mendengar, mempercayai, dan menyebarkan informasi, tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu. Dalam banyak kasus, hal ini menciptakan stereotip, pembunuhan karakter, atau bahkan konflik sosial yang tidak perlu. Maka, penting untuk mengingat bahwa setiap orang memandang kita dengan sudut pandang yang berbeda, tergantung pada pengalaman dan emosi mereka.Â
Mengapa Nilai Kita Berbeda di Mata Semua Orang?
Pertama, mari kita sadari satu hal: kita tidak akan pernah bisa memuaskan semua orang. Sebaik apapun kita bersikap, selalu ada orang yang melihat kita dari perspektif yang berbeda. Hal ini wajar karena manusia memiliki latar belakang, pengalaman, dan preferensi yang tidak sama.
Misalnya, seseorang mungkin melihatmu sebagai sosok inspiratif karena ketekunanmu. Namun, di mata orang lain, ketekunanmu bisa dianggap sebagai ambisi berlebihan atau bahkan sombong. Realitanya, penilaian manusia tidak pernah hitam putih.
Psikolog sosial menyebut fenomena ini sebagai attribution bias kecenderungan manusia untuk menilai tindakan orang lain berdasarkan asumsi, bukan fakta. Misalnya, ketika seseorang terlambat datang ke janji temu, kita cenderung berpikir mereka tidak menghargai waktu, padahal mungkin ada alasan yang valid di balik keterlambatan tersebut.
Penilaian berbasis cerita sering kali menjadi awal dari konflik sosial. Dalam istilah humaniora, hal ini dikenal sebagai social narrative, kisah yang berkembang di masyarakat yang sering kali mengabaikan kebenaran individu. Sayangnya, cerita ini kerap lebih menarik daripada fakta karena biasanya melibatkan drama atau emosi.
Sebagai contoh, bayangkan kamu mendengar seseorang di kantormu disebut sebagai orang yang sulit diajak bekerja sama. Tanpa pernah bekerja langsung dengannya, kamu sudah memiliki prasangka bahwa dia sulit. Lalu, ketika bekerja bersama, setiap hal kecil yang ia lakukan terasa seperti membenarkan prasangka tersebut. Ini adalah efek dari konfirmasi bias, di mana kita mencari bukti untuk mendukung keyakinan awal kita, bahkan jika itu tidak sepenuhnya benar.
Hal ini berbahaya karena dapat menciptakan stigma dan memengaruhi hubungan sosial secara tidak adil. Orang yang menjadi korban cerita negatif sering kali harus berjuang lebih keras untuk membuktikan bahwa mereka tidak seperti yang diceritakan.
Bagaimana caranya agar kita tidak terjebak dalam penilaian yang tidak adil? Jawabannya adalah dengan menjadi lebih kritis terhadap informasi yang kita terima dan membangun empati. Berikut beberapa langkah praktis yang bisa diambil:
Validasi Informasi
Sebelum mempercayai sebuah cerita, tanyakan pada dirimu: Apakah ini fakta atau opini? Apakah ada bukti yang mendukung cerita ini? Jangan mudah terprovokasi hanya karena cerita tersebut datang dari orang yang kamu percaya.Kenali Orang Secara Langsung
Jangan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang kamu dengar. Luangkan waktu untuk mengenal mereka langsung. Kamu mungkin akan terkejut melihat betapa berbeda mereka dibandingkan dengan cerita yang beredar.Latih Empati
Cobalah untuk melihat situasi dari perspektif orang lain. Mengapa mereka bertindak seperti itu? Apa yang mungkin sedang mereka alami? Empati tidak hanya membantu kita memahami orang lain tetapi juga membuat kita lebih manusiawi.Hindari Menyebarkan Cerita Negatif
Ingatlah bahwa setiap kali kamu menyebarkan cerita negatif tanpa bukti, kamu berkontribusi pada pembunuhan karakter seseorang. Jika cerita tersebut tidak menambah kebaikan atau solusi, lebih baik berhenti di kamu.
Pada akhirnya, kita semua adalah manusia yang tidak sempurna. Seberapa baik pun kita mencoba menjadi versi terbaik diri kita, selalu ada orang yang akan salah memahami atau bahkan membenci kita. Hal ini adalah bagian dari dinamika sosial yang tak bisa dihindari.
Namun, ini bukan alasan untuk menyerah atau membalas kebencian dengan kebencian. Sebaliknya, kita bisa menggunakan pengalaman ini untuk tumbuh dan belajar. Dengan memahami bahwa nilai kita di mata orang lain bisa berbeda-beda, kita belajar untuk tidak bergantung pada validasi eksternal.
Sebagai manusia, tugas kita bukan untuk disukai semua orang, melainkan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Dan meskipun itu tidak selalu dihargai, ingatlah bahwa nilai sejati tidak ditentukan oleh opini orang lain, melainkan oleh bagaimana kita menjalani hidup dengan integritas dan empati.
Refleksi tentang penilaian manusia ini sejalan dengan prinsip-prinsip humaniora: memahami kompleksitas manusia dan hubungan sosialnya. Dengan menjadi lebih bijak dalam menilai, kita tidak hanya membantu diri sendiri, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih sehat secara emosional dan sosial.
Percayalah, nilaimu akan selalu berbeda di mata semua orang. Namun, selama kamu tetap berusaha menjadi manusia yang baik, nilai sejati itu akan bersinar, meski tidak semua orang mampu melihatnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI