Kedua, pemerintah perlu serius memajukan budaya membaca. Misalnya, dengan memberikan subsidi untuk pembelian buku, memperluas perpustakaan di daerah terpencil, dan menjadikan karya penulis lokal bagian dari kurikulum sekolah. Ketiga, media juga harus berperan aktif dalam mempromosikan buku dan karya penulis lokal. Jika konten berkualitas bisa mendapatkan panggung yang sama dengan konten viral, mungkin masyarakat akan mulai melihat nilai dari membaca.
Pada akhirnya, profesi penulis di 2025 akan tetap miskin atau tidak tergantung pada kita semua. Jika masyarakat terus menganggap buku hanya sebagai hiasan rak, jika pemerintah tetap enggan mengalokasikan dana untuk literasi, dan jika minat baca tidak ditumbuhkan sejak dini, maka jangan heran jika kita akan terus menyaksikan para penulis hidup dalam bayang-bayang.
Sambil menunggu perubahan itu, mari kita doakan semoga para penulis kita tetap bersemangat, meskipun honor mereka tidak sebesar mimpi mereka dan meski tulisan mereka hanya sekadar dihargai recehan. Karena, siapa tahu, di balik tulisan-tulisan mereka, tersimpan kekayaan yang tidak bisa diukur dengan uang, ide-ide yang mengubah dunia. Atau setidaknya, membuat kita tertawa di tengah ironi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H