Tahun 2025 sudah mulai berjalan, tetapi nasib profesi para penulis tampaknya masih seperti sebuah profesi yang tidak terlalu menjanjikan di masa depan. Mengapa saya katakan demikian?
Mari kita mulai dengan fakta sederhana. Di negara kita, tingkat minat baca masih berada di level mengkhawatirkan. Berdasarkan data UNESCO, tingkat literasi kita sempat disebut hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang, hanya satu yang mungkin benar-benar membaca buku. Dengan pasar yang sekecil ini, penulis seolah berada di dalam lingkaran setan. Mereka menulis buku, tetapi siapa yang mau membaca?
Salah satu alasan utama mengapa penulis cenderung hidup pas-pasan adalah karena apresiasi terhadap karya mereka masih rendah. Sebuah buku bisa ditulis selama bertahun-tahun, melibatkan penelitian mendalam, begadang hingga mata panda permanen, dan pergulatan batin yang tiada akhir. Namun, begitu diterbitkan, buku itu seringkali hanya dihargai beberapa puluh ribu rupiah di toko daring. Kadang malah diberi diskon 50%, seolah-olah buku itu sebatas barang clearance sale.
Ironisnya, di tengah rendahnya minat baca, masyarakat kita sangat gemar menikmati konten instan---dari sinetron yang alur ceritanya bisa ditebak sejak episode pertama, hingga konten viral di media sosial. Karya penulis yang penuh filosofi dan renungan kalah pamor dengan video 30 detik berisi joget-joget yang meraup jutaan likes.
Lantas, apakah pemerintah mendukung profesi penulis? Jawabannya bisa kita tebak. Lihat saja anggaran yang disediakan untuk literasi dan pengembangan penulis. Dibandingkan dengan sektor lain, dana untuk literasi ibarat recehan di dompet negara. Apakah kita pernah mendengar tentang program beasiswa khusus penulis berbakat atau penghargaan besar-besaran bagi penulis lokal? Kalau pun ada, skala dan gaungnya nyaris tidak terasa.
Di sisi lain, menjadi penulis di negara maju seperti Amerika atau Eropa, meskipun tidak menjamin kekayaan instan, setidaknya ada pasar yang siap menyambut karya mereka. Pemerintah di negara-negara tersebut seringkali memberikan subsidi bagi karya-karya sastra lokal, mendorong budaya membaca sejak usia dini, dan menghadirkan perpustakaan yang benar-benar digunakan oleh masyarakat.
Tentu, semua ini kembali pada akar masalah: budaya membaca. Mengapa minat baca kita rendah? Mungkin karena buku dianggap tidak penting dibandingkan kebutuhan lain. Ketika seseorang memiliki uang Rp50.000, apakah mereka akan membelinya untuk sebuah novel atau memilih seporsi ayam goreng lengkap dengan minuman soda? Jawabannya jelas.
Hal ini diperparah dengan stigma bahwa menulis bukan profesi "serius." Banyak orang yang menganggap penulis hanyalah pekerjaan sambilan, atau lebih parah lagi, hobi yang kebetulan menghasilkan uang. Sebagai perbandingan, lihat profesi dokter, pengacara, atau insinyur. Semua profesi ini dihormati karena dianggap memiliki dampak langsung pada kehidupan masyarakat. Tetapi penulis? Mereka dianggap "hanya" menciptakan kata-kata.
Namun, mari kita berpikir sejenak. Dari mana kita mendapatkan film favorit kita, dialog-dialog ikonik, atau bahkan artikel humor seperti ini? Ya, dari penulis. Dunia tanpa penulis ibarat layar kosong tanpa cerita. Sayangnya, kontribusi mereka seringkali dianggap angin lalu.
Mungkin, solusi untuk mengangkat profesi penulis dari kemiskinan terletak pada perubahan sikap kolektif. Pertama, apresiasi terhadap karya literatur harus meningkat. Jika kita menghargai sebuah buku seperti kita menghargai tiket konser, mungkin profesi penulis tidak akan terlalu menyedihkan.