Di sebuah stasiun kereta di Stockholm, seorang ibu sedang menunggu kereta. Tangan kirinya memegang tas kerja, sementara tangan kanannya memegang burger. Sekilas, pemandangan ini tampak biasa saja. Namun, jika Anda tahu bahwa ibu tersebut adalah Elva Johansson, Menteri Tenaga Kerja Swedia, beliau adalah seorang pejabat negara yang sedang pulang kerja dengan transportasi umum. Tidak ada mobil dinas, tidak ada pasukan pengawal, bahkan tidak ada sopir yang menunggu di luar stasiun.
Swedia, negara yang sering disebut sebagai salah satu tempat paling makmur di dunia, justru terkenal dengan kesederhanaan para pejabatnya. Mereka lebih sering terlihat menggunakan bus, kereta, atau sepeda untuk berangkat kerja. Bukan karena negara ini tidak mampu membeli mobil dinas, justru sebaliknya, Swedia adalah contoh sempurna bagaimana sebuah negara kaya dapat tetap hemat dan bijaksana dalam mengelola uang rakyat.
Di Swedia, naik transportasi umum bukan hanya pilihan praktis, tetapi juga cerminan nilai budaya. Bahkan Perdana Menteri Swedia lebih sering terlihat naik kereta ketimbang duduk di kursi belakang mobil mewah dengan pelat nomor khusus. Mengapa? Karena masyarakat Swedia memiliki standar tinggi terhadap transparansi dan efisiensi penggunaan dana publik.
Di sana, menggunakan uang rakyat untuk kemewahan pribadi adalah dosa besar. Jika seorang pejabat ketahuan menghambur-hamburkan dana negara untuk hal seperti kendaraan pribadi, berita buruknya akan tersebar di media seperti api di hutan kering. Tidak ada celah untuk "alasan darurat" atau "kebutuhan jabatan". Hasilnya? Pejabat Swedia belajar untuk hidup sederhana, sesuai dengan harapan rakyatnya.
Mari kita bayangkan sebentar. Apa jadinya jika budaya disiplin seperti ini diterapkan di negara kita?
Anggaran mobil dinas yang sering kali "mevvah" mungkin bisa dialihkan untuk hal yang lebih produktif. Misalnya, membangun infrastruktur pendidikan, membuka lapangan pekerjaan baru, atau setidaknya menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik. Bayangkan berapa banyak orang yang bisa terbantu jika dana yang digunakan untuk membeli satu mobil dinas dapat dialokasikan untuk membuka lapangan pekerjaan baru, memperbaiki sekolah yang rusak, atau bahkan menyuplai makanan untuk daerah-daerah yang masih rawan kelaparan.
Pejabat kita akan lebih dekat dengan rakyatnya. Tidak ada lagi "gap" antara pemimpin dan yang dipimpin. Bayangkan jika seorang menteri terlihat antri tiket kereta di pagi hari sambil menyapa warga. Selain hemat anggaran, hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat. Jika pejabat ikut merasakan jerih payah hidup sehari-hari seperti kita, mungkin kebijakan yang diambil pun akan lebih relevan dan tepat sasaran.
Namun, mari kita kembali ke kenyataan. Menerapkan budaya Swedia di negara kita bukanlah perkara mudah. Ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan, mulai dari infrastruktur transportasi umum hingga mentalitas masyarakat dan pejabat itu sendiri.
Transportasi umum di negara kita, meskipun sudah banyak berkembang, masih jauh dari kata ideal. Jadwal yang tidak konsisten, kenyamanan yang kurang, dan keamanan yang kadang dipertanyakan menjadi tantangan utama. Jika seorang menteri harus menunggu kereta yang telat satu jam di stasiun yang panas, mungkin esoknya beliau langsung kembali ke mobil dinasnya.
Di sisi lain, ada juga tantangan mentalitas. Budaya "siapa yang lebih besar" masih sering menjadi patokan kesuksesan. Dalam kondisi seperti ini, sulit membayangkan seorang pejabat tinggi rela melepaskan kenyamanan mobil dinasnya demi berbaur dengan rakyat biasa di KRL yang penuh sesak.
Namun, pelajaran dari Swedia bukan hanya soal penghematan anggaran. Ini tentang memberikan teladan. Ketika seorang Menteri seperti Elva Johansson rela menunggu kereta sepulang kerja, dia mengirimkan pesan kuat "Jabatan bukanlah alasan untuk mendapatkan perlakuan istimewa". Hal ini menciptakan rasa hormat dan kepercayaan dari masyarakat.