Bandung, kota yang sering disebut sebagai "Paris van Java," memang selalu punya daya tarik tersendiri. Suhu udaranya yang adem, pemandangan hijau di sekelilingnya, dan budaya kuliner yang luar biasa menjadikan Bandung seperti surga kecil yang pas untuk menjalani gaya hidup slow living.Â
Tapi, apakah gaya hidup slow living cocok untuk diterapkan di Bandung?Â
Di luar Bandung, banyak orang membayangkan kota ini sebagai tempat yang nyaman untuk bersantai, jauh dari hiruk-pikuk kota besar seperti Jakarta. Dalam bayangan mereka, tinggal di Bandung berarti punya waktu untuk menikmati kopi di pagi hari sambil melihat kabut tipis di pegunungan, atau berjalan-jalan santai di tengah udara segar. Realitanya? Memang ada sisi adem itu, tapi untuk benar-benar menjalani slow living di Bandung, ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Salah satunya adalah gaya hidup masyarakat Bandung sendiri. Orang-orang Bandung dikenal sangat fashionable. Bahkan mereka yang mungkin penghasilannya belum terlalu besar tetap memikirkan penampilan dengan serius. Jadi, jangan heran kalau kamu melihat anak muda Bandung dengan outfit kece dari ujung rambut sampai ujung kaki, padahal penghasilannya mungkin masih di bawah UMK. Fenomena ini seolah jadi bagian dari budaya Bandung, di mana fashion nggak cuma soal gaya, tapi juga cara menunjukkan identitas.
Kehidupan Masyarakat Bandung yang Santai, Tapi...
Selain itu, orang Bandung terkenal dengan pola pikir "kumaha engke" yang artinya "gimana nanti." Filosofi ini memang ada sisi positifnya karena membuat mereka cenderung santai dan nggak terlalu stres menghadapi hidup. Tapi di sisi lain, pola pikir ini juga sering bikin banyak orang lebih memilih menikmati momen sekarang tanpa terlalu memikirkan masa depan. Contohnya, mau jajan ya jajan aja, mau nongkrong ya tinggal nongkrong. Nggak heran kalau banyak generasi Milenial dan Gen Z di Bandung yang kesulitan menyisihkan uang untuk tabungan karena lebih suka menikmati kesenangan saat ini. Bahkan, nongkrong di Bandung nggak bisa dianggap hal yang sederhana. Meski kota ini punya banyak kafe dan tempat ngopi yang ramah di kantong, tetap aja nongkrong jadi semacam "budaya kompetisi" terselubung. Kafe mana yang lagi hits? Outfit apa yang dipakai? Apa yang dipesan biar terlihat "niat" di story Instagram? Semua ini bikin budaya slow living jadi terasa agak kontras dengan kenyataan di lapangan.
Jajanan Kuliner yang Semakin Banyak dan MerajalelaÂ
Selain fashion dan nongkrong, kuliner juga jadi salah satu hal yang bikin orang susah menjalani slow living di Bandung. Kota ini penuh dengan makanan enak yang nggak pernah habis untuk dicoba. Dari jajanan kaki lima seperti cireng dan batagor, sampai restoran mewah yang menyajikan fine dining, semua ada. Bagi pecinta makanan, Bandung bisa jadi jebakan. Bagaimana mau menjalani hidup sederhana dan slow kalau setiap hari selalu ada godaan untuk mencoba makanan baru? Gaya hidup slow living sering dikaitkan dengan pola hidup minimalis, yang fokus pada hal-hal esensial dan mengurangi pengeluaran yang nggak perlu. Tapi di Bandung, di mana makanan adalah bagian dari identitas kota, menahan diri untuk nggak jajan jadi tantangan besar.
Slow Living vs. Modernitas Bandung
Di sisi lain, Bandung juga sedang berkembang jadi kota modern. Infrastruktur yang terus dibangun, mall-mall besar yang bertambah, dan gaya hidup urban yang semakin kuat membuat Bandung semakin sibuk. Memang, ada sudut-sudut kota yang masih terasa tenang, seperti daerah Dago atas atau Lembang. Tapi untuk yang tinggal di tengah kota, kemacetan, polusi, dan ritme hidup yang serba cepat sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Belum lagi, tuntutan gaya hidup modern ini sering membuat orang merasa perlu "mengejar" sesuatu. Baik itu gadget terbaru, outfit trendi, atau sekadar ikut hype tempat nongkrong baru. Dalam suasana seperti ini, slow living bisa terasa seperti mimpi yang jauh.
Tapi, bukan berarti slow living nggak mungkin dijalani di Bandung, ya. Ada beberapa cara untuk memulai pola hidup ini meskipun tantangannya banyak. Misalnya:
1. Pilih Prioritas: Slow living nggak berarti harus tinggal di tempat sunyi dan jauh dari teknologi. Intinya adalah fokus pada apa yang benar-benar penting. Di Bandung, kamu bisa memilih untuk mengurangi aktivitas yang terlalu hedonis, seperti terus-terusan nongkrong di tempat hits, dan menggantinya dengan kegiatan yang lebih bermakna, seperti jalan-jalan di taman kota atau hiking di sekitar Lembang.
2. Manfaatkan Keindahan Alam: Bandung punya banyak tempat yang cocok untuk slow living, seperti Kebun Teh Rancabali, Taman Hutan Raya Juanda, atau Punclut. Cobalah meluangkan waktu untuk menikmati alam tanpa perlu banyak pengeluaran.
3. Kurangi Konsumsi Berlebihan: Baik itu soal fashion, kuliner, atau gaya hidup, mulailah memilah mana yang benar-benar kamu butuhkan. Nggak ada salahnya kok tampil simpel tapi tetap keren, atau sesekali masak di rumah daripada terus-terusan jajan di luar.
4. Cari Komunitas dengan Visi yang Sama: Di Bandung, banyak komunitas yang mendukung gaya hidup sederhana dan slow living. Mulai dari komunitas pecinta tanaman, komunitas meditasi, hingga kelompok yang fokus pada hidup minimalis.
5. Nikmati Proses: Slow living bukan soal mencapai kesempurnaan, tapi lebih kepada menikmati perjalanan. Jadi, nggak perlu buru-buru mengubah semua aspek hidupmu. Mulai dari hal kecil dan perlahan-lahan buat perubahan yang berarti.
Menjalani slow living di Bandung memang bukan hal yang mudah. Dengan budaya fashion-forward, pola pikir santai tapi impulsif, dan godaan kuliner yang terus menghantui, tantangannya cukup besar. Tapi, dengan sedikit usaha dan komitmen, slow living tetap mungkin dijalani. Intinya, kamu harus bisa memanfaatkan sisi adem Bandung yang memang ada, sambil belajar untuk memfilter gaya hidup modern yang cenderung sibuk dan penuh tuntutan. Siapa tahu, Bandung justru jadi tempat terbaik buat memulai perjalanan slow living-mu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI