Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku pada 1 Januari 2025 kembali menjadi sorotan. Di satu sisi, ada yang keberatan, namun tak sedikit pula yang memaklumi, bahkan cenderung menerima tanpa banyak protes.Â
Kenaikan"Kan cuma naik 1%, Bang," ujar sebagian orang dengan nada pasrah, seolah angka 1% adalah kenaikan kecil yang tak perlu diributkan. Namun, benarkah 1% itu tak berarti apa-apa? Apakah ini hanya sebuah kebijakan biasa, atau ada hal yang lebih besar di balik angka tersebut? *(Sebuah kutipan dari sebuah artikel Rosadi Jamani Ketua Satupena Kalbar).
Ilusi di Balik 1%
Satu persen mungkin terdengar kecil, tetapi dalam realitas ekonomi, angka ini dapat menjadi pembeda signifikan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam setiap transaksi, kenaikan sekecil apa pun akan terasa ketika dikalikan dengan kebutuhan harian. Â Misalnya, bagi keluarga kecil dengan penghasilan pas-pasan yang harus membeli bahan pokok setiap hari, 1% tambahan PPN berarti pengeluaran mereka naik untuk setiap liter minyak goreng, setiap kilogram beras, dan setiap bungkus mi instan. Dampaknya mungkin tak langsung terlihat dalam satu atau dua hari, tetapi akumulasi selama setahun akan terasa menekan. Â
Sayangnya, narasi resmi pemerintah sering kali berfokus pada manfaat jangka panjang, seperti peningkatan infrastruktur, pendidikan, atau layanan kesehatan. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah kenaikan pajak ini benar-benar akan kembali ke rakyat dalam bentuk yang setara, atau hanya menguap di antara tumpukan proyek-proyek yang tak kasatmata? Â
Narasi yang Membius
Kebijakan ini dibungkus dengan retorika manis. Pemerintah menyebut kenaikan 1% sebagai bagian dari upaya memperkuat penerimaan negara, mengingat beban anggaran yang terus meningkat. Narasi ini dibuat sedemikian rupa sehingga rakyat diminta menerima dengan "lapang dada." Â Namun, jika kita mundur sejenak dan mengingat kenaikan sebelumnya, bukankah cerita ini terasa akrab? Seperti drama yang diulang berkali-kali, di mana rakyat selalu diminta untuk memahami situasi sulit negara, sementara transparansi tentang bagaimana uang pajak digunakan masih menjadi masalah besar. Â
Di tengah narasi itu, mereka yang merasa kebijakan ini "tidak masalah" cenderung lupa bahwa rakyat kecil akan merasakan dampaknya jauh lebih besar daripada kelas menengah atau atas. Bagi mereka yang penghasilannya stabil dan besar, 1% memang sekadar angka. Tapi bagi yang hidup dari gaji harian, 1% adalah beban tambahan yang nyata. Â
Kelelahan Kolektif: Diam yang Memprihatinkan
Salah satu alasan minimnya protes terhadap kenaikan ini adalah fenomena "keletihan kolektif." Rakyat terlalu sering dihadapkan pada kenaikan harga, pajak, dan biaya hidup lainnya hingga pada titik tertentu mereka memilih untuk diam. Â Seperti dikatakan oleh filsuf Antonio Gramsci, hegemoni yang efektif bekerja dengan cara yang halus dan tak terasa. Ketika kenaikan pajak dibungkus dengan narasi bahwa ini "demi kebaikan bersama," banyak orang cenderung menerimanya tanpa berpikir panjang. Â
Namun, diam bukan berarti setuju. Dalam hati, banyak rakyat merasa tertekan, hanya saja mereka tak lagi punya energi untuk bersuara. Di sisi lain, rasa ketidakpercayaan terhadap pengelolaan anggaran negara juga menjadi faktor. Rakyat cenderung skeptis apakah pajak tambahan ini benar-benar akan berdampak pada kesejahteraan mereka. Â
Rantai Dampak Ekonomi
Kenaikan PPN 1% ini tidak hanya berdampak pada rumah tangga, tetapi juga pada sektor usaha, terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Banyak pelaku usaha kecil yang sudah berjuang menghadapi tekanan biaya operasional kini harus memikirkan bagaimana menyesuaikan harga produk mereka. Â Sayangnya, menyesuaikan harga bukan keputusan mudah. Dengan daya beli masyarakat yang sudah menurun akibat inflasi, menaikkan harga bisa berarti kehilangan pelanggan. Sebaliknya, jika harga tetap, pelaku usaha harus menanggung beban tambahan, yang pada akhirnya menekan margin keuntungan mereka. Â Rantai dampak ini menjelaskan bahwa kenaikan pajak sekecil apa pun tidak bisa dilihat sebagai kebijakan sederhana. 1% di atas kertas adalah angka kecil, tetapi dalam praktiknya, ia menciptakan efek domino yang jauh lebih besar. Â
Harapan atau Hanya Janji? Â
Pemerintah berjanji bahwa penerimaan tambahan dari kenaikan PPN akan digunakan untuk membiayai program-program yang mendukung rakyat, seperti perbaikan infrastruktur dan peningkatan layanan publik. Namun, tanpa transparansi dan akuntabilitas yang jelas, janji ini hanya akan menjadi sekadar kata-kata. Â
Selama ini, publik telah sering kali kecewa dengan minimnya perbaikan yang nyata meskipun pajak terus naik. Jalan rusak tetap menjadi pemandangan biasa di daerah-daerah, pelayanan kesehatan masih penuh antrean, dan sistem pendidikan belum sepenuhnya inklusif. Â
Lalu, bagaimana kita bisa yakin bahwa kenaikan PPN kali ini akan berbeda? Â