Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di satupena Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Jangan Membiasakan Anak Menertawakan Penderitaan Orang Lain

6 Desember 2024   08:53 Diperbarui: 6 Desember 2024   08:57 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : bingimage.com AI

Pernahkah Anda menonton sebuah konten humor, dimana ada adegan seseorang tergelincir atau jatuh tanpa sengaja? Apa itu Lucu? Mungkin, tanpa sadar kita ikut tertawa sejenak. Tapi, mari kita renungkan. Apa benar adegan seperti itu layak jadi bahan tawa? Apa lucu melihat seseorang terjatuh dan terluka?  
Sayangnya, tanpa sadar, kebiasaan kurangnya empati ini sering kita normalisasi sejak dini. Contohnya sederhana: anak-anak yang menertawakan temannya yang tiba-tiba jatuh di kelas. Bukannya menolong, malah jadi bahan candaan. "Ih, dia jatuh! Lucu banget, ya?" Mungkin terdengar biasa, tapi efeknya? Pola pikir ini bisa terbawa hingga dewasa.  


HUMOR ITU TIDAK MELUKAI HATI 


Sebagai masyarakat, kita sering menganggap humor itu bebas, tanpa batas. Padahal, ada garis tipis yang memisahkan humor sehat dengan humor yang melukai. Saat anak-anak kita terbiasa menertawakan penderitaan orang lain, teman yang terjatuh, teman yang memakai sepatu sobek, atau bahkan pengemis di jalanan, mereka perlahan kehilangan kemampuan untuk berempati.  

Lama-kelamaan, ini bisa jadi karakter. Bayangkan, anak yang tumbuh tanpa diajarkan batasan humor, besar menjadi orang dewasa yang menjadikan musibah, tragedi, atau kekurangan orang lain sebagai bahan candaan. Ucapan kasar, ejekan, bahkan candaan yang tidak pantas dianggap biasa.  

PERAN ORANG TUA DALAM MEMBENTUK EMPATI  

Di sinilah pentingnya peran orang tua. Sesibuk apa pun, mendidik adab dan moral adalah tugas utama kita. Jangan hanya menyerahkan semuanya pada sekolah atau guru. Anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, dan di situlah mereka belajar nilai-nilai hidup yang paling mendasar.  

Sebagai contoh nyata, anak-anak harus diberi pengertian bahwa:  
 "Menertawakan orang gila di jalan itu salah.  Orang dengan gangguan jiwa butuh bantuan, bukan olok-olok."
 "Menertawakan pengemis itu tidak beradab. Mereka ada di jalan karena kebutuhan, bukan untuk jadi bahan hiburan."  
 "Menertawakan teman yang kesulitan itu tidak pantas. Sebaliknya, ajarkan mereka untuk membantu, bukan menambah luka."  

Ajarkan mereka bahwa humor memiliki batas. Tidak semua yang terlihat lucu boleh dijadikan bahan candaan, terutama jika itu menyakiti orang lain.  

**Empati Itu Dibangun, Bukan Muncul Sendiri**  

Empati bukan sesuatu yang muncul tiba-tiba. Empati dibangun dari kebiasaan sehari-hari. Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai orang tua:  

1. **Jadilah Contoh Nyata**  
Anak-anak meniru apa yang mereka lihat. Jika Anda menertawakan hal-hal yang tidak pantas, jangan heran jika anak Anda melakukan hal yang sama. Sebaliknya, tunjukkan sikap empati dalam situasi nyata.  

2. **Ajarkan Konsep "Bagaimana Jika Itu Terjadi Padamu?"**  
Saat anak tertawa melihat orang lain jatuh, tanyakan, "Bagaimana kalau itu kamu? Apa kamu mau orang lain tertawa?" Dengan cara ini, mereka belajar merasakan posisi orang lain.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun