Fajar baru saja mengusap langit Padalarang dengan semburat jingga keemasan, memahat lanskap yang terasa begitu damai. Di tepi jalan, warung sederhana berhiaskan anyaman bambu menyambut para penikmat pagi. Aroma khas dari dapurnya mulai menari di udara, mengiringi langkah kaki saya yang tak sabar menantikan hidangan istimewa, kupat tahu khas Padalarang. Â
Kupat tahu ini bukan sekadar sajian. Ia adalah cerita yang dituturkan melalui rasa, perpaduan harmoni yang menjanjikan kehangatan di setiap suapan. Saya duduk di salah satu bangku panjang yang terbuat dari kayu, memandang ibu pemilik warung yang cekatan meracik seporsi kupat tahu dengan tangan penuh pengalaman. Â
Di hadapan saya, potongan lontong beras kupat tersusun rapi, lembut mengundang. Tak lama, soun putih yang halus dan lentur ditempatkan di atasnya, seperti tirai tipis yang melindungi misteri rasa. Di sisi lain, tahu goreng kuning keemasan dengan kulit renyah dan isi yang empuk berdiri gagah, menggoda siapa saja untuk segera mencicipinya. Â
Namun, mahkota dari hidangan ini terletak pada kuahnya. Kuah santan yang mengalir dengan lembut menggenangi piring, menyelimuti setiap elemen dengan kehangatan gurih manis pedas yang khas. Aroma kelapa yang dipadukan dengan rempah-rempah seperti lengkuas, daun salam, dan cabai merah langsung membangkitkan rasa lapar, sementara jejak gula merah dan kecap manis menambahkan dimensi kelezatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Â
Ketika suapan pertama memasuki mulut, dunia terasa melambat. Rasa gurih santan yang kaya menyelimuti lidah, disusul hentakan manis gula yang menggoda. Sentuhan pedas dari cabai menciptakan percik kehangatan yang lembut, sementara tekstur kenyal kupat berpadu sempurna dengan lembutnya soun dan tahu yang renyah di bagian luar namun lembut di dalam. Di sela rasa ini, ada harmoni sempurna yang seolah mengingatkan pada pelukan hangat ibu di pagi yang dingin. Â
"Kuahnya jangan sampai habis dulu, nanti nggak kerasa serunya," ujar seorang pelanggan yang duduk di sebelah saya sambil tersenyum. Benar saja, setiap elemen dalam kupat tahu ini seakan menunggu giliran untuk tenggelam dalam kuah santan sebelum menyajikan kejutan rasa. Â
Setiap suapan membawa saya lebih dalam pada kenangan masa kecil ketika ibu membawa saya untuk sarapan di pinggir pasar. Ada kehangatan desa, keramahan orang-orangnya, dan suara riuh pasar pagi yang seakan melengkapi hidangan ini. Kupat tahu khas Padalarang seperti pintu menuju perjalanan rasa, menghubungkan masa lalu dan masa kini dengan sebuah jembatan sederhana namun penuh memori rasa.Â
Menjelang suapan terakhir, kuah santan mulai menipis, namun rasa yang tertinggal di lidah masih menyisakan jejak kenangan yang manis. Sarapan ini menjadi perayaan kecil di pagi hari, di mana setiap elemen bekerja sama untuk menghadirkan kebahagiaan sederhana. Â
Ketika saya melangkah keluar dari warung, matahari sudah semakin tinggi. Padalarang, dengan segala kesederhanaannya, telah menawarkan rasa yang tak hanya mengisi perut tetapi juga tertinggal lama di lidah.
Pagi ini, saya membawa pulang bukan hanya rasa, tetapi juga cerita---kisah tentang tanah, tangan, dan tradisi yang merangkul saya dalam kehangatan sarapan sederhana. Dan di suatu tempat dalam ingatan, kupat tahu ini akan selalu menjadi alasan untuk kembali menikmatinya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H