Di Indonesia Hari Ayah jatuh pada setiap tanggal 12 November. Hari ini diperingati sebagai momen bagi anak-anak untuk mengucapkan terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan oleh ayah mereka.Â
Namun, peringatan ini memunculkan refleksi mendalam bagi anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran aktif seorang ayah, sebuah fenomena yang sering disebut dengan istilah fatherless.
Di negara kita yang lebih banyak menerapkan pola pengasuhan patriarki, fenomena fatherless masih menjadi persoalan signifikan. Meski ayah sering dianggap sebagai kepala keluarga, peran mereka dalam pengasuhan anak sering kali terabaikan. Banyak ayah berfokus pada tanggung jawab finansial dan mengabaikan peran emosional dalam kehidupan anak.Â
Kondisi ini menciptakan jurang besar dalam hubungan ayah dan anak, sehingga anak hanya mengenal ayahnya sebagai "penyedia kebutuhan" tanpa kehangatan atau keintiman emosional.Â
Banyak sekali anak-anak yang sudah tumbuh dewasa, merasa hubungan dengan ayahnya sangat canggung dan kaku, bahkan yang lebih buruknya lagi, hubungan Ayah dan anak tak lebih dari sekadar hubungan transaksional.
Fatherless bukan hanya berarti anak yang kehilangan ayah secara fisik, seperti karena perceraian, kematian, atau meninggalkan keluarga. Istilah ini juga mencakup anak-anak yang merasa kehilangan peran emosional ayah dalam kehidupan mereka meskipun secara fisik sang ayah masih ada, namun kedekatan secara emosional sangat renggang.Â
Ayah yang sibuk bekerja, terlalu fokus pada tanggung jawab profesional, tidak mau terlibat dalam pengasuhan sehingga menciptakan efek anak yang merasa kehilangan figur ayah.
Ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan anak berdampak besar pada perkembangan emosional dan sosial anak. Anak laki-laki sering kehilangan figur panutan yang bisa mengajarkan nilai-nilai tanggung jawab, kedisiplinan, dan kepemimpinan.Â
Sementara itu, anak perempuan yang kurang mendapat perhatian dari ayahnya cenderung mencari validasi dari pihak luar, yang kadang membahayakan jika mereka tidak mendapatkan panduan yang tepat.
Pola Pengasuhan Patriarki yang ProblematisÂ
Di Indonesia, budaya patriarki sering mengedepankan peran ibu dalam pengasuhan, sementara ayah bertugas sebagai pencari nafkah utama. Banyak ayah yang beranggapan bahwa tugas mereka selesai setelah memenuhi kebutuhan materi anak, tanpa menyadari pentingnya membangun hubungan emosional dengan mereka.
Sebagai contoh, ayah jarang terlibat dalam kegiatan sederhana seperti, menimang bayi, memberi makan anak, bermain bersama anak dan mendengarkan cerita anak tentang pengalaman mereka di sekolah.
Kesibukan yang sering dijadikan alasan oleh ayah untuk tidak terlibat dalam pengasuhan anak sebenarnya justru memperparah situasi ini. Saat anak tumbuh dewasa, mereka mulai merasa bahwa hubungan dengan ayahnya bersifat transaksional, hanya sebatas "permintaan uang jajan." Akibatnya, anak kehilangan hubungan emosional yang seharusnya menjadi fondasi kuat untuk membangun kepercayaan dan rasa aman dalam keluarga.
Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan aktif ayah cenderung menghadapi berbagai masalah emosional dan sosial, seperti:
1. Kehilangan rasa percaya diri. Tidak adanya dukungan emosional dari ayah membuat anak merasa kurang dihargai.
2. Kesulitan dalam menjalin hubungan. Anak-anak fatherless sering kesulitan memahami bagaimana membangun hubungan yang sehat dengan orang lain.
3. Perilaku agresif. Anak laki-laki tanpa figur ayah yang positif dapat menunjukkan perilaku agresif atau sulit diatur.
4. Rendahnya nilai akademis. Ketiadaan dorongan dan bimbingan dari ayah bisa berdampak pada motivasi belajar anak.
Mengubah Perspektif Ayah dalam Pengasuhan
Hari Ayah seharusnya menjadi momen refleksi bagi setiap ayah untuk mengevaluasi perannya dalam kehidupan anak. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa diambil ayah untuk mengatasi fenomena fatherless:
1. Berikan Waktu Berkualitas
Sesibuk apa pun, luangkan waktu untuk anak. Tidak perlu lama, tetapi pastikan waktu yang dihabiskan bersama benar-benar berkualitas. Dengarkan cerita mereka, pelajari minat mereka, dan tunjukkan bahwa Anda peduli.
2. Terlibat dalam Kehidupan AnakÂ
Jadilah bagian dari aktivitas sehari-hari anak, seperti membantu mereka belajar, mengantar ke sekolah, atau bermain bersama. Aktivitas sederhana ini bisa memperkuat hubungan emosional antara ayah dan anak.
3. Komunikasi yang TerbukaÂ
Buat anak merasa nyaman untuk berbicara dengan Anda. Hindari sikap otoriter yang membuat anak takut mengungkapkan perasaan atau masalah mereka.
4. Berikan ApresiasiÂ
Pujian kecil atas hasil karya atau pencapaian anak bisa memberikan dampak besar pada kepercayaan diri mereka.
5. Menjadi Teladan yang BaikÂ
Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Jadilah figur ayah yang penuh kasih, sabar, dan bertanggung jawab, sehingga mereka bisa meniru nilai-nilai positif tersebut.Â
Hari Ayah: Waktu untuk Mengubah Narasi
Hari Ayah bukan sekadar peringatan simbolis, tetapi juga panggilan bagi setiap ayah untuk merefleksikan sejauh mana mereka telah berperan dalam kehidupan anak-anak mereka. Apakah hubungan Anda dengan anak hanya sebatas penyedia materi? Atau apakah Anda telah menjadi sosok yang mendukung mereka secara emosional?Â
Waktu berjalan cepat, dan momen kecil bersama anak-anak tidak akan terulang. Jangan sampai kesibukan hari ini membuat Anda kehilangan kesempatan untuk membangun hubungan yang bermakna dengan mereka. Jadikan Hari Ayah sebagai titik awal untuk memperbaiki hubungan, mengubah pola pengasuhan, dan menciptakan kenangan indah yang akan dikenang oleh anak-anak Anda sepanjang hidup mereka.
Karena pada akhirnya, menjadi ayah bukan hanya tentang memberikan nafkah, tetapi juga tentang memberikan kasih sayang, waktu, dan perhatian yang tak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H