Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan hangat dan sedikit sendu. Matahari baru saja mengintip dari balik jendela, menyiramkan cahaya lembut yang menyapu kamar. Setelah merenggangkan tubuh dan mengumpulkan semangat, aku menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Di dalam lemari dapur, sekotak spaghetti tersimpan rapi. Spaghetti, pikirku, pilihan yang sederhana tapi selalu berhasil menenangkan hati. Kupikir, kenapa tidak memasaknya saja untuk sarapan hari ini?
Saat memasukkan spaghetti ke dalam panci berisi air mendidih, pikiranku tiba-tiba melayang, terbawa ke masa-masa indah di usia 19 tahun. Saat itu, kami memiliki geng kecil yang dinamai JOJOBA, singkatan dari "Jomblo-Jomblo Bahagia". Â Karena meski saat itu kami semua belum punya pasangan, tapi acara akhir pekan kami selalu padat dengan acara kumpul bersama, sekedar untuk nonton bareng, botraman atau sekedar nge-jam bareng dengan suara pas pasan. Bersama anggota Jojoba Ateu, Nadya, Tine, Cici, Indri Iyep, Sigit, Angga, Anggi dan beberapa teman lainnya, kami melewati masa muda dengan canda tawa yang seolah tak berujung. Walaupun jomblo, kami merasa cukup bahagia karena persahabatan itu memberi kami cinta dalam bentuk lain kehangatan, dukungan, dan kebahagiaan bersama.
Ada satu momen yang sangat berkesan, yakni malam tahun baru yang tak terlupakan. Kami berkumpul di tempat yang kami sebut "markas" sebuah rental DVD yang juga rumah salah satu teman kami, Ateu, sebuah  tempat untuk berkumpul dan bercengkerama. Markas ini selalu menjadi tempat pelarian kami, disaat ingin mencurahkan isi hati tentang apa saja yang terjadi dalam hidup, terutama kegalauan masa muda ketika gebetan udah disamber orang duluan.
Di malam tahun baru itu, kami memutuskan untuk memasak bersama sebagai bentuk perayaan sederhana. Tim memasak terbagi sesuai keahlian masing-masing. Aku, Sigit, dan Cici yang memang gemar memasak, kebagian tugas untuk membuat hidangan utama yaitu spaghetti bolognese. Sementara yang lain bertugas memanggang jagung, sosis, dan hidangan-hidangan kecil lainnya. Saat memasak, aku menyadari ada suasana berbeda di antara Sigit dan Cici. Dari caranya mereka berinteraksi, aku bisa menangkap adanya tanda-tanda ketertarikan yang mulai tumbuh di antara keduanya, canggung, namun manis. Mereka saling melempar senyum dan tatapan malu-malu, seperti adegan dalam drama Korea.
Saat spaghetti hampir matang, Sigit mengangkat panci berisi air rebusan dan bertanya padaku, "Ini buang airnya di mana, Ri?" Karena wastafel penuh dengan piring kotor, aku menyarankan untuk membuangnya di lantai kamar mandi. Dengan penuh kepercayaan diri, Sigit pun mengangguk, lalu mengangkat panci dan menuangkan air rebusan. Namun, saat itulah bencana mulai terjadi,spaghetti yang seharusnya menjadi hidangan utama malam itu, tumpah semua ke lantai kamar mandi!
Kami bertiga terpaku, saling menatap dengan wajah panik. Bagaimana ini? Spaghetti itu adalah menu utama untuk teman-teman kami yang sudah menunggu dengan perut lapar. Di tengah kekacauan itu, aku spontan berkata, "Kita cuci aja, daripada beli lagi udah nggak sempat." Sigit dan Cici langsung mengikuti saranku, meski terlihat ragu. Dengan hati-hati, kami mencuci ulang spaghetti yang jatuh menggunakan sedikit sabun cuci piring. "Ini nggak apa-apa pakai cairan pencuci piring, kan?" tanya Sigit dengan wajah khawatir. Aku mengangguk, pura-pura yakin, "Itu kan juga buat cuci sayur dan buah, nggak apa-apa. aman!" Jawabku dengan sok tahu.
Setelah dirasa cukup bersih, kami menambahkan bumbu, saus tomat, dan daging cincang, berharap kelezatan hidangan itu bisa menyembunyikan "tragedi" yang terjadi. Tepat saat hidangan hampir siap, Ateu datang memeriksa.Â
"Udah aman kan spaghettinya?" Kami bertiga berpandangan dan mengangguk mantap, "Aman, Ateu, aman..." keringat dingin menetes dipelipis, khawatir tragedi spaghetti tumpah diketahui teman-teman yang lain.
Akhirnya, spaghetti itu pun tersaji di meja makan. Dengan perasaan was-was, aku, Sigit, dan Cici saling berpandangan. Satu persatu kami mulai melihat reaksi teman-teman saat mulai menyantapnya. Di luar dugaan, reaksi mereka justru positif. "Enak banget, kaya yang dijual di restoran!" ujar Nadya sambil tersenyum puas. Angga dan Sandi juga setuju, memuji rasa hidangan itu. Sigit tersenyum bangga sambil bergumam, "Iyalah, ini dibuat sepenuh hati sama chef!"Â
"Eh, tapi kau kaya ada aroma wangi apa ya....?" tanya Tine dengan sedikit ragu.
Sontan aku pun langsung menjawab dengan terburu-buru "Itu aroma Oregano! Biasa kalau spaghetti harus pake oregano kan ya?" ujarku sambil mendelik Sigit.
"Iya bener Ne, itu aroma Oregano!" Sigit ikut meyakinkan.Â
Tine pun menggangguk, ekspresinya menandakan ia percaya dengan penjelasan kami, padahal aroma itu berasal dari sisa sabun cuci piring. Sementara yang lain asik melahap Spaghetti, kami bertiga pura-pura sibuk merapikan meja makan. Ateu yang penasaran pun bertanya, "Kalian kok nggak makan?" Aku dan Sigit kompak menjawab, "Udah kenyang tadi di belakang!"
"Iya Teu, kita udah makan tadi di dapur...."Cici pun menambahkan.
"Oh oke deh kalau gitu aku abisin ya..." Ujar Nadya dengan semangat.
"Boleh banget..." Ujarku sambil berdoa dalam hati semoga lambung Nadya tetap aman.
Aku tersenyum sendiri, mengingat masa nostalgia itu. Sepiring spaghetti yang kubuat pagi ini seakan ikut mengantarkan kembali rindu, pada masa muda dulu. Dimana aku teringat kembali mereka yang pernah menjadi bagian indah dari kenangan mudaku. Spaghetti ini tak hanya mengisi perutku, tapi juga menyentuh hatiku dengan segudang kenangan yang tumpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H