Aku terdiam di hadapan cermin yang menatapku dengan penuh rasa iba. Cermin tua berbingkai emas ini adalah satu-satunya teman di rumah ini, yang diam-diam menyimpan kisah dari getirnya luka yang kututup rapat dalam kesendirian. Dari cermin ini, aku melihat bayangan seseorang yang nyaris tak kukenali lagi. Matanya kuyu, wajahnya pucat, dan lelahnya... ah, lelahnya sungguh tak terlukiskan.
Namun, dulu, di balik pantulan itu, pernah ada Anggita yang lain. Anggita yang hidup penuh warna dan bisa tertawa bahagia.
Namun kini, semua itu terasa begitu jauh, seolah-olah ada kehidupan lain yang tak lagi kupegang. Semua berubah sejak aku mengenalnya, Dimas. Seorang lelaki yang pernah menjanjikan kebahagiaan, dia yang kataku dulu adalah tempat pulang.
Pernikahan kami, tak lebih dari sekadar pertemuan di tempat tidur yang kaku. Terpenjara dalam dunia yang sepi, dingin, dan asing.
Dimas adalah pria dengan jabatan tinggi. Setiap hari, dia pergi sebelum matahari naik dan pulang setelah bintang-bintang menggantung rendah. Pertemuan kami, jika bisa disebut pertemuan, hanyalah di kamar tidur yang dingin. Tatapannya hanya berisi perintah: "Sediakan ini, sediakan itu." Ia bahkan tak pernah bertanya bagaimana hariku, atau apakah aku butuh teman bicara.
Kebersamaan kami, bagi suamiku, hanyalah soal tanggung jawab yang selesai dengan uang yang disisihkan tiap bulan. Seolah angka-angka itu bisa meringankan segala beban yang menindih pundakku. Ia merasa telah cukup menunaikan tugasnya, sementara aku, tenggelam dalam kesunyian dan kekacauan yang tak pernah terlihat. Rengekan tangis anak-anak yang tak kunjung berhenti, tumpukan pekerjaan rumah yang seperti tak pernah selesai, dan, perasaan hilang yang membuatku dalam ruang kosong.
"Kamu enak santai di rumah." Katanya
Kalimat itu menusukku begitu dalam, mengoyak apa yang tersisa dari harga diriku. Baginya, aku hanya seorang perempuan yang bisa bersantai kapan saja. Dia lupa bahwa setiap hari aku hanya punya waktu tidur tidak lebih dari 5 jam dan harus terbangun di malam hari karena rengekan si Kecil yang minta Asi. Salahkah jika aku hanya menuntut sedikit waktu untuk bisa bercerita?
"Ini hanya soal kata untuk bisa bicara. Tidak perlu dibesar-besarkan." Katanya
Bukankah pernikahan juga dimulai dengan sebuah kata? "Aku terima nikahnya," tapi mengapa rangkaian kata itu bisa mengikat seseorang seumur hidup?Â
Pikiranku melayang jauh, kembali ke masa lalu, ke masa saat aku masih menjadi  Anggita Maharani Seorang Reporter TV muda berbakat dengan segudang prestasi. Sesaat bayangan itu mulai terjebak dalam pikiran untuk masuk dalam mesin waktu dan kembali dengan pilihan yang berbeda.Â
Tapi tiba-tiba suara rengekan membuatku segera tersadar bahwa aku tak pernah bisa kembali, ada hati yang akan lebih hancur dan terluka, saat aku memutuskan pergi. Dan naluriku sebagai seorang wanita bergelar ibu, mampu mengalahkan rasa sakit dari kesepianku. Aku harus bertahan sekali lagi. Ujarku seraya merangkul tubuh mungil yang menghampiriku.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H