Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Pemenang Sayembara Penulisan FTV Indosiar, Penulis Buku Antalogi KKN (Kuliah Kerja Ngonten) Elex Media, Penulis Eduparenting, Penulis Cerpen Horor @roli.telkomsel dan penggiat puisi esai di satupena Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cintaku Terhalang UMK

7 November 2024   11:32 Diperbarui: 7 November 2024   11:37 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bingimage.Ai


Di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, di antara gemerlap lampu kota yang ramai, Egi dan Lala duduk berdua. Suasana hening di antara mereka, seakan ada sesuatu yang tak terucapkan, menahan setiap kata yang ingin keluar.

"Kapan kamu akan melamarku, Gi?" tanya Lala pelan, suaranya hampir berbisik. Tapi meski lirih, pertanyaan itu menohok hati Egi.

Egi mengalihkan pandangan. Ia tahu Lala sudah menunggu cukup lama. Empat tahun bukan waktu yang sebentar untuk hubungan mereka. Ia mencintai Lala, sungguh-sungguh. Tapi mencintai saja tak cukup, pikirnya. Cinta mereka terhalang realita.

Ia mencoba tersenyum, meskipun dalam hati ada rasa tak berdaya yang menyesakkan. "La, bukan aku nggak mau... Tapi... Kamu tahu, kan, gaji aku aja UMK.... Buat aku hidup sendiri aja pas-pasan. Apalagi... kalau harus menghidupi kamu juga."

Lala diam, menatap mata Egi dalam-dalam, mencoba mencari kejujuran di sana. "Gi, kita kan bisa pelan-pelan. Aku nggak menuntut macam-macam. Aku cuma mau kita bisa bersama."

"Tapi kamu layak dapat lebih dari ini, La." Suara Egi semakin berat. "Kamu juga tau La, tanggung jawabku masih banyak... " tatapan Egi menerawang, ia teringat Ibu dan adiknya di desa yang harus ia hidupi. Egi tak bisa mengabaikan mereka, karena setelah Bapak meninggal, mereka berdua adalah tanggung jawab Egi.

Lala menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "Kita bisa berjuang Gi..." Lala menggengam tangan Egi, mencoba meyakinkannya.

"Maafin aku, La," perlahan Egi melepas genggaman Lala "Aku pengen kamu bahagia... bukan hidup susah dengan aku..." Egi bangkit dari duduknya, berusaha menguatkan diri, menahan airmata yang mulai berontak. Ia harus segera pergi, agar Lala tak melihat betapa pecundang dirinya, karena tak berani memperjuangkan cintanya.

Lala menatap punggung Egi yang makin menjauh pergi, ia menundukkan kepala, menangis. Egi tampak seperti pecundang yang rapuh. Lala sangat kecewa, ia merasa bahwa empat tahun hubungan mereka adalah sia-sia. Kata maaf dari Egi, seolah menjadi jawaban bahwa hubungan mereka sudah berakhir. Berat bagi Lala, tapi ia sadar bahwa hubungan mereka sudah tak ada masa depan.

---

Jakarta, kota metropolitan dengan sejuta kemegahan, ada sebuah cerita pahit bahwa tidak semua mereka yang berada di dalam gedung tinggi itu hidup dengan baik, terkadang mereka berjuang berburu makan siang murah, berdesakan di kereta yang sesak, tinggal di tempat sempit yang tak layak, demi bisa menghemat uang hasil gaji, demi bisa bertahan hidup di kota yang katanya paling sempurna untuk mengubah nasib. Tapi pada nyatanya kota ini tak selalu bercerita soal kemegahan, dibaliknya banyak kemiskinan yang tak nampak. Mereka bersembunyi diantara gedung tinggi yang menutupi. Egi hanyalah satu dari jutaan cerita Jakarta, yang menyimpan luka.


Suatu malam Egi duduk di balkon kosannya, memandang langit Jakarta yang selalu gemerlap. Cahaya warna warni yang indah, seolah tak menyimpan kesedihan. Sudah tiga bulan sejak Ia dan Lala berpisah, kerinduan dan hati yang remuk, membuatnya hidup bagai mayat hidup. Bekerja, bekerja dan hampir gila. Sampai malam ini, sebuah notifikasi di HP menyadarkannya, sebuah undangan virtual. Lala akan menikah minggu depan. Ia mencoba menguatkan hatinya, meskipun kepedihan terus mendera. Ia sadar, ini adalah pilihannya. Lala memang pantas bahagia.

Selamat ya, La, kamu pantas bahagia....

Egi membalas pesan dengan hati yang hancur berantakan. Ia lalu menyalakan sebatang rokok, kembali menatap gemerlapnya Jakarta dengan tetesan airmata yang tak lagi tertahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun