Jakarta, kota metropolitan dengan sejuta kemegahan, ada sebuah cerita pahit bahwa tidak semua mereka yang berada di dalam gedung tinggi itu hidup dengan baik, terkadang mereka berjuang berburu makan siang murah, berdesakan di kereta yang sesak, tinggal di tempat sempit yang tak layak, demi bisa menghemat uang hasil gaji, demi bisa bertahan hidup di kota yang katanya paling sempurna untuk mengubah nasib. Tapi pada nyatanya kota ini tak selalu bercerita soal kemegahan, dibaliknya banyak kemiskinan yang tak nampak. Mereka bersembunyi diantara gedung tinggi yang menutupi. Egi hanyalah satu dari jutaan cerita Jakarta, yang menyimpan luka.
Suatu malam Egi duduk di balkon kosannya, memandang langit Jakarta yang selalu gemerlap. Cahaya warna warni yang indah, seolah tak menyimpan kesedihan. Sudah tiga bulan sejak Ia dan Lala berpisah, kerinduan dan hati yang remuk, membuatnya hidup bagai mayat hidup. Bekerja, bekerja dan hampir gila. Sampai malam ini, sebuah notifikasi di HP menyadarkannya, sebuah undangan virtual. Lala akan menikah minggu depan. Ia mencoba menguatkan hatinya, meskipun kepedihan terus mendera. Ia sadar, ini adalah pilihannya. Lala memang pantas bahagia.
Selamat ya, La, kamu pantas bahagia....
Egi membalas pesan dengan hati yang hancur berantakan. Ia lalu menyalakan sebatang rokok, kembali menatap gemerlapnya Jakarta dengan tetesan airmata yang tak lagi tertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H