Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Filosofi Kopi Nangkuban, Berburu Sarapan di Adhigana

5 November 2024   07:00 Diperbarui: 5 November 2024   07:09 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Pagi itu, Jogging Track Gasibu menyambutku dengan pelukannya yang lembut dan penuh semangat. Sinar matahari awal hari menembus rimbun pepohonan, menciptakan lukisan alam yang nyaris sempurna. Udara pagi di Bandung adalah suatu berkah, segar dan dingin, seakan setiap embusan angin yang masuk ke paru-paruku membawa kehidupan baru. Langit biru bersih membentang di atas kepala, seperti kanvas yang menanti goresan langkah-langkah kecilku di sepanjang lintasan lari.

Di Gasibu, lapangan olahraga ini adalah taman bermain para pencari energi pagi. Ada yang berjalan santai, bercanda dengan teman, atau bahkan berlari secepat mungkin mengejar ambisinya. Aku mulai berlari, merasakan setiap tarikan napas yang mengiringi langkah-langkahku. Dengan setiap injakan kaki, aku seolah menyatu dengan bumi yang basah oleh embun. Rasanya seperti berdansa bersama alam, irama detak jantungku berpadu dengan harmoni alam yang membangkitkan semangat.

Setelah beberapa putaran, tubuhku mulai terasa panas, dan keringat yang mengalir dari kening membuat kulitku terasa segar. Cahaya matahari menari-nari di atas tubuh, seakan memuji setiap usaha kecil yang kupersembahkan untuk kebugaran. Setelah puas menghirup energi pagi itu, aku memutuskan untuk beristirahat dan mengarahkan langkahku keluar dari lapangan.

Di luar area jogging track, perutku mulai bersenandung, seolah memberi isyarat bahwa saatnya mencari sarapan. Berjalan perlahan-lahan sambil menikmati suasana pagi yang masih lengang, aku menyusuri jalan-jalan kecil menuju tempat-tempat makan yang berderet di sekitar kawasan Cilaki. Bandung memang selalu penuh kejutan, terutama di waktu pagi saat aroma makanan tercium dari setiap sudut kota. Aroma kopi dan makanan ringan mulai merasuki udara, seakan-akan mereka memanggilku untuk singgah.

Langkahku terhenti di depan sebuah tempat yang terlihat ramai. Tempat ini penuh sesak oleh orang-orang yang tampak sabar mengantri. Mataku terpaku pada kerumunan yang terus bertambah, dan rasa penasaran mulai membuncah di dalam dada. Apa yang begitu menarik di tempat ini sampai-sampai banyak orang rela mengantri di pagi hari?

Tanpa ragu, aku memutuskan untuk ikut mengantri. Suasana riuh rendah para pengunjung yang sibuk memilih menu membuatku merasa semakin antusias. Saat mendekat, aku melihat bahwa tempat ini menyediakan menu sarapan ala prasmanan, pilihan makanannya terhampar di meja panjang dengan beragam hidangan yang menggugah selera. Ada nasi uduk, kupat tahu, rice butter dengan aneka topping, dan berbagai lauk lain yang khas. Namun pandanganku tertuju pada satu sajian yang tampak istimewa di ujung meja. Hidangan itu dihidangkan dengan sangat menarik, potato baked. Kentang panggang berwarna keemasan yang tampak renyah di luar namun lembut di dalam, ditambah dengan lelehan saus keju yang menggiurkan di atasnya. Saat pertama kali melihatnya, perutku seperti berteriak semakin keras. Aku tak kuasa untuk tidak memesan hidangan ini.

Setelah menerima potato baked pesananku, aku mencari tempat duduk di luar. Aku duduk di bangku kayu kecil, berbaur dengan pengunjung lain yang sama-sama sibuk menikmati sarapan mereka. Ketika garpu pertamaku menyentuh potato baked ini, aku sudah bisa merasakan teksturnya yang lembut dan hangat. Saus keju di atasnya langsung lumer, membalut setiap gigitan dengan cita rasa yang lembut namun gurih, seolah-olah lidahku tengah diselimuti oleh rasa yang hangat dan nyaman.

Aku menggigit perlahan, mencoba meresapi setiap detik dari kelezatan yang ditawarkan hidangan sederhana ini. Kentangnya lembut namun padat, dengan sedikit rasa manis yang kontras dengan asin gurihnya keju. Saus kejunya benar-benar memanjakan, seperti selimut yang membalut kentang tersebut dalam kehangatan dan kelembutan. Rasanya membawa kenangan pada sarapan pagi yang disiapkan dengan penuh cinta, membuatku merasa seperti di rumah sendiri.

Saat aku menikmati gigitan demi gigitan, aku mulai merasakan suasana sekitar dengan lebih dalam. Di sebelahku, sepasang muda-mudi tertawa renyah, tampak asyik bercanda sembari menikmati rice butter. Di meja lain, seorang ayah tengah menyuapi anaknya dengan hati-hati, mengingatkanku pada kehangatan keluarga yang terasa akrab. Tempat ini, meskipun ramai, berhasil menciptakan atmosfer yang hangat dan penuh keakraban. Makanan yang sederhana, namun disajikan dengan hati.

Sumber : galeri pribadi
Sumber : galeri pribadi

Sumber : galeri pribadi
Sumber : galeri pribadi

Selesai menikmati potato baked yang memanjakan lidah, pandanganku tertuju pada daftar minuman di tempat sarapan itu. Ada satu menu kopi yang tak biasa menarik perhatianku, sebuah sajian dengan nama yang sedikit asing tapi membuat penasaran: "Kopi Nangkuban." Nama yang terdengar eksotis dan sedikit misterius, seolah menyimpan rahasia kenikmatan dalam setiap tegukan. Tanpa ragu, aku memutuskan kembali mengantri, untuk mencobanya. Pesanan kopi pun disajikan dengan tampilan yang unik. Tidak dalam cangkir, melainkan dalam gelas yang dibalik dalam piring kecil, sangat unik. Ternyata, cara meminumnya pun berbeda dari kopi biasa. Menurut cerita singkat dari penjualnya, "Kopi Nangkuban" ini memiliki filosofi minum yang khas dan harus dinikmati dengan cara menyeruput langsung dari piring, perlahan-lahan, sedikit demi sedikit meresapi setiap tegukan. 

Ini bukan sekadar minum kopi, tapi sebuah ritual yang mengajari manusia sebuah proses untuk bersabar, selangkah demi selangkah menikmati setiap perjalanan agar dapat menemukan setiap hikmah dalam mencapai tujuan.

Aku mengangkat piring kopi itu, dan perlahan mendekatkannya ke bibir. Aroma kopi menguar dengan kuat, wanginya membawa jejak tanah subur, pepohonan hijau, dan lembah di pegunungan. Wangi yang begitu pekat, seperti memanggil jiwa-jiwa para petani kopi yang merawat biji-biji kopi dengan cinta. Aroma tersebut semakin menguatkan sensasi eksotis dari kopi Nangkuban ini. Aku menyeruputnya perlahan, membiarkan cairan hitam pekat itu memenuhi rongga mulutku. Rasanya berbeda dari kopi pada umumnya. Di dalam kopi, ada bulir-bulir halus dari beras hitam yang memberikan tekstur unik. Bulir-bulir itu menambah sensasi yang menarik di lidah, memberikan kombinasi lembut dan kasar yang harmonis. Setiap seruputannya menghadirkan lapisan rasa yang mendalam, perpaduan pahit kopi yang kuat dengan sentuhan aroma beras hitam yang sedikit manis.

Setiap bulir beras yang lembut menggulung di lidah menciptakan sensasi yang mengingatkanku pada tanah kelahiran kopi, pada akar budaya yang kaya. Kopi Nangkuban ini bukan hanya sekadar minuman, tetapi sebuah pengalaman rasa yang membawa perjalanan kecil menuju pegunungan, di mana setiap biji kopi diolah dengan penuh kesabaran. Ada sesuatu yang sangat pribadi dalam kopi ini, seperti sebuah surat cinta yang disampaikan dengan cara yang sederhana tapi penuh kehangatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun