Mohon tunggu...
Ririe aiko
Ririe aiko Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penulis Poem, Eduparenting, Trip, dan Ghost Story. Sangat Menyukai Traveling dan Dunia Literasi Contact person : erikae940@gmail.com Follow Me : Instagram : Ririe_aiko

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Anak dan Orangtua "Bukan Hubungan Transaksional"

4 November 2024   08:35 Diperbarui: 4 November 2024   08:52 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : bingimage.com AI


Di tengah modernitas dan segala tantangan hidup yang makin kompleks, parenting atau pola asuh masih menjadi topik yang selalu menarik untuk dibahas. Dalam banyak keluarga, tidak sedikit orang tua yang tanpa disadari membangun hubungan dengan anak-anaknya secara transaksional. Ada pola didikan yang terbentuk dengan dasar "give and take" atau "hubungan bisnis".  Mulai dari anak diminta membantu pekerjaan rumah dengan imbalan uang saku, hingga ekspektasi bahwa anak yang sudah dewasa nanti akan membalas semua biaya yang dikeluarkan orang tua untuk pendidikan mereka.

Di Indonesia, pola pengasuhan seperti ini masih sering kita temui. Banyak orang tua yang mengharapkan "balas budi" dari anak-anaknya, padahal anak tidak pernah memilih untuk lahir. Anak adalah tanggung jawab orang tua yang harus dihadapi dengan penuh cinta, bukan investasi untuk keuntungan di masa depan.

Mengapa Pola Asuh Transaksional Tidak Ideal?

Pola asuh yang berbasis transaksional ini, jika terus diterapkan, dapat memberikan dampak buruk bagi perkembangan psikologis anak. Anak-anak yang dibiasakan dengan imbalan untuk setiap bantuan yang mereka berikan, akan membentuk mindset bahwa segala sesuatu dalam hidup hanya dilakukan jika menguntungkan. Ketika membantu orang tua harus dibayar, anak menjadi terbiasa untuk berpikir bahwa melakukan hal baik atau sekadar membantu orang lain pun harus selalu disertai dengan bayaran.

Dalam kehidupan nyata, tidak semua hal bisa diukur dengan uang. Kepedulian, empati, ketulusan, dan cinta adalah hal-hal yang seharusnya ditanamkan sejak dini tanpa syarat. Sayangnya, hubungan yang dibangun dengan dasar transaksi justru menanamkan sebaliknya. Anak belajar bahwa ada harga di balik semua tindakan. Mereka kehilangan makna ketulusan dalam setiap hubungan, yang sebenarnya merupakan dasar kuat dari bonding yang sehat antara orang tua dan anak.

Tumbuhnya Pola Pikir "Hitung-Hitungan" pada Anak

Ketika orang tua terlalu sering menghitung apa yang mereka keluarkan untuk anak , dari biaya sekolah, les, hingga kebutuhan sehari-hari, anak cenderung merasa memiliki "utang" pada orang tua. Padahal, semua pengorbanan tersebut adalah bagian dari tanggung jawab orang tua, bukan beban yang harus dibayar oleh anak. Jika sejak kecil anak diajarkan bahwa setiap bantuan harus ada imbalannya, maka besar kemungkinan ia akan membawa pola pikir ini ke hubungan-hubungan lainnya, termasuk hubungan dengan teman, pasangan, atau bahkan dengan orang lain di lingkungan sosialnya. Anak yang tumbuh dengan pola ini akan cenderung memilih-milih dalam bertindak, apakah ia akan mendapatkan keuntungan atau tidak. Mereka jadi cenderung menimbang manfaat yang bisa didapatkan sebelum melakukan sesuatu, alih-alih bertindak atas dasar kebaikan atau keikhlasan.

Hubungan Emosional yang Tergadai

Pola asuh transaksional juga berpotensi membuat hubungan emosional antara orang tua dan anak menjadi lemah. Saat anak merasa bahwa kasih sayang orang tua bisa "dibeli" dengan prestasi atau ketaatan tertentu, maka ia pun akan cenderung memberikan balasan yang sama. Anak-anak yang dibesarkan dengan pola ini kemungkinan besar hanya akan menunjukkan rasa sayang kepada orang tua saat merasa ada manfaat yang bisa mereka peroleh.

Di sinilah letak masalah besarnya. Hubungan antara anak dan orang tua seharusnya dibangun atas dasar cinta, pengertian, dan dukungan. Ketika semua itu dikaitkan dengan uang atau keuntungan, maka tidak ada lagi ikatan emosional yang kuat. Pada akhirnya, hubungan orang tua-anak akan menjadi sekadar hubungan formalitas tanpa kedalaman emosional, hanya ada hitung-hitungan yang selalu muncul dalam benak.

Mengapa Anak Tidak Seharusnya Merasa Berutang pada Orang Tua?

Faktanya, anak-anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan. Mereka hadir di dunia ini sebagai konsekuensi dari pilihan orang tua. Oleh karena itu, tanggung jawab orang tua untuk membesarkan, menyayangi, dan mendidik mereka tidak bisa dianggap sebagai "utang" yang harus dibayar oleh anak suatu hari nanti. Tentu saja, tidak ada yang salah jika anak ingin membalas jasa orang tua, tetapi ini sebaiknya datang dari rasa cinta dan kepedulian yang tulus, bukan dari rasa terbebani untuk membayar kembali apa yang sudah dikeluarkan oleh orang tua.

Menganggap anak sebagai "tabungan masa depan" hanya akan menambah beban psikologis pada anak, dan membuat mereka merasa bahwa kasih sayang orang tua adalah sesuatu yang harus dibayar kembali. Padahal, ketulusan dalam hubungan keluarga adalah kunci dari kedekatan emosional yang kuat. Anak yang merasa dicintai tanpa syarat akan cenderung lebih menghormati dan menyayangi orang tua, bukan karena merasa berhutang, tetapi karena ia tahu orang tuanya benar-benar mencintainya tanpa embel-embel "balas jasa".

Mengajarkan Ketulusan, Bukan Transaksi

Untuk membangun hubungan yang sehat dengan anak, penting bagi orang tua untuk mengajarkan ketulusan sejak dini. Berikan contoh pada anak bahwa membantu orang lain atau melakukan hal baik tidak harus selalu mendapat imbalan. Ajarkan bahwa hubungan keluarga dibangun atas dasar cinta dan dukungan, bukan keuntungan. Saat anak melihat dan merasakan ketulusan dari orang tua, mereka akan belajar untuk meniru dan menerapkannya dalam hidup mereka.

Orang tua juga perlu ingat bahwa tanggung jawab mereka dalam membesarkan anak adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa cinta, bukan investasi yang nantinya harus dibayar kembali oleh anak. Justru, anak yang tumbuh dengan kasih sayang yang tulus akan memiliki rasa tanggung jawab untuk merawat orang tua ketika sudah dewasa, tanpa merasa bahwa itu adalah kewajiban yang harus dipenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun