Perjalanan dimulai dari Bandung, kota yang penuh hiruk-pikuk namun tetap membingkai nuansa romantis di setiap sudutnya. Pagi itu, mentari masih malu-malu memancarkan sinarnya di balik selimut kabut tipis yang menyelimuti lembah dan bukit. Di atas motor yang melaju pelan, aku meninggalkan kepadatan kota menuju Lembang, sebuah kawasan di ketinggian yang selalu menawarkan dinginnya udara pegunungan dan aroma alam yang menggoda. Seperti perjalanan pulang ke pangkuan ibu, ada kehangatan yang menanti di sana, meskipun disambut dengan suhu yang menusuk tulang.
Jalan yang menghubungkan Bandung dan Lembang bukanlah sekadar rute, melainkan jalan setapak kenangan yang membentang seperti pita, menyatukan pepohonan yang berbaris rapi diantara lembah. Asap tipis dari gerobak penjaja makanan di pinggir jalan sesekali terlihat mengepul, mencium hidung dengan aroma-aroma yang menggugah selera. Ini adalah tanda bahwa aku mendekati tujuan, Lembang sudah dekat, begitu pula cita rasa khas yang tengah menantiku.
Begitu tiba di salah satu kedai pinggir jalan yang sederhana, kursi-kursi kayu yang disusun seadanya seolah memanggil untuk sejenak duduk dan menikmati suasana. Kedai ini tidak menawarkan kemewahan, hanya keramahan dan kesederhanaan yang membuatnya terasa begitu akrab, seperti pelukan yang tulus. Aroma colenak, singkatan dari "dicocol enak," yaitu tape bakar yang disajikan dengan kinca gula kelapa tercium dari dapur kecil yang hanya terbuat dari anyaman bambu. Colenak ini mungkin sederhana, namun di setiap gigitannya, ada rasa manis yang dalam, seperti cerita masa lalu yang kembali dihidangkan.
Dari segigit colenak yang hangat, aku teringat kenangan lama, saat masih kecil, duduk di samping nenek yang gemar menceritakan kisah rakyat Jawa Barat sambil menyuapkan tape hangat yang dibakar di atas tungku sederhana. Rasa manisnya mengalir perlahan, berpadu dengan tekstur tape yang empuk dan sedikit kenyal. Tak sekadar kudapan, colenak adalah jembatan rasa yang membawa pada nuansa masa lalu, saat kehidupan masih sederhana dan kehangatan keluarga menjadi pusat dari segala kenikmatan.
Selesai dengan colenak, pandanganku tertuju pada ketan bakar yang dihidangkan di meja. Ketan bakar ini bukan sekadar nasi ketan yang dibakar; ia dibumbui dengan sedikit kelapa parut dan disajikan bersama sambal oncom yang beraroma khas. Rasanya gurih dan sedikit pedas, memanjakan lidah seperti hangatnya api unggun di malam hari. Ketan bakar di Lembang memiliki cita rasa yang otentik, seolah mengisahkan kembali asal usul tanah Priangan yang kaya akan hasil bumi dan budaya kuliner.
Di setiap gigitan ketan bakar, ada sensasi kehangatan yang menjalar perlahan, mengimbangi dinginnya udara Lembang yang terus menyelinap di sela-sela jaket. Seolah-olah, ketan bakar ini hadir sebagai teman perjalanan, menyambut dan menghangatkan, memberikan energi untuk menelusuri lebih dalam setiap lapis dari keindahan alam Lembang. Terasa sekali, betapa sederhana tetapi hangatnya rasa kebersamaan yang ada dalam makanan ini, sebagaimana alam Lembang yang menerima setiap pendatang dengan tangan terbuka.
Sambil menikmati ketan bakar, segelas susu jahe panas datang menemani. Aroma jahe yang khas, dengan sedikit sensasi pedas, membaur dengan harum susu segar. Suhu hangat dari susu jahe seakan menjadi pelipur lara di tengah hawa dingin yang semakin menusuk. Sambil menyesap perlahan, terasa aliran kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuh. Minuman ini seolah menghadirkan kebersahajaan Lembang, menyusup lembut ke dalam tubuh, memberikan kehangatan yang tak hanya fisik, tetapi juga menghidupkan kembali semangat jiwa.
Di sekeliling kedai, tampak pengunjung lain yang berbincang ringan, tertawa kecil, berbagi cerita seolah waktu bergerak lebih lambat di sini. Lembang seolah memberi kesempatan bagi setiap orang untuk meresapi setiap momen tanpa tergesa. Di sinilah letak pesona Lembang yang tak tergantikan, sebuah tempat yang mengajak untuk berhenti sejenak, merasakan setiap hembusan angin, setiap gigitan makanan, dan setiap tegukan minuman yang hadir dalam kehangatan alam.
Aku berbincang dengan seorang bapak yang duduk di meja sebelah, sesama pencinta alam yang mengagumi keindahan Lembang. Kami bertukar cerita, ia tentang masa mudanya yang kerap mendaki gunung di sekitar Lembang, sementara aku bercerita tentang kenangan masa kecil yang diselimuti cerita-cerita rakyat yang begitu khas. Di sini, tak ada sekat antara pendatang dan penduduk lokal; semua menjadi satu dalam cerita yang mengalir seperti air sungai, menyatu dalam irama yang harmonis.
Waktu perlahan berlalu, mentari mulai menampakkan diri di antara awan-awan tipis, sinarnya menembus celah-celah pohon pinus yang tumbuh menjulang di sekitar kedai. Udara dingin Lembang yang terasa hingga ke tulang perlahan berbaur dengan kehangatan sinar matahari, menciptakan perpaduan yang sempurna. Ini adalah salah satu momen yang membuat perjalanan ini begitu berarti; saat alam dan manusia bersatu dalam harmoni yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Kedai sederhana ini menjadi saksi bisu dari percakapan ringan, canda tawa, dan rasa syukur yang mengalir di setiap tegukan susu jahe dan setiap gigitan colenak. Makanan dan minuman di sini bukan hanya sekadar kuliner, melainkan bagian dari kehangatan yang ditawarkan Lembang pada setiap pengunjungnya. Mungkin, inilah alasan mengapa Lembang selalu menjadi tujuan yang dirindukan; bukan hanya karena dinginnya yang menenangkan, tetapi juga karena ia adalah tempat di mana waktu seakan berhenti sejenak, memberikan ruang bagi setiap orang untuk kembali merasakan makna dari setiap momen kecil dalam hidup.
Saat akhirnya aku meninggalkan kedai itu, ada perasaan hangat yang tertinggal di hati, seperti kehangatan colenak dan ketan bakar yang tersimpan lama. Lembang, dengan segala kesederhanaannya, mengajarkan untuk kembali menghargai setiap rasa, setiap cerita, dan setiap hembusan angin yang membawa kesejukan. Di perjalanan pulang, aku merasa Lembang telah mengisi ruang kosong yang mungkin tak dapat diisi oleh kesibukan kota, ia menyentuh jiwa dengan cara yang lembut namun begitu mendalam, mengingatkan bahwa keindahan hidup bisa ditemukan di mana saja, bahkan di kedai kecil di pinggir jalan.
Perjalanan ke Lembang kali ini bukan hanya sekadar wisata kuliner; ia adalah perjalanan jiwa yang membawa kembali kenangan, menghangatkan hati, dan memberi makna baru pada setiap langkah di jalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H